Posted by : Unknown Rabu, 03 April 2013


NIKAH USIA DINI
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas pada mata kuliah
Masail Fiqiyah




                                                        
              

             Disusun oleh:
M. Yusuf  Rudiantoro         ( 210310209 )
Andri  Nur Khamdani          ( 210310214 )

Dosen Pengampu :
Dr.H. Sugihanto, M.A


JURUSAN TARBIYAH

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PONOROGO
2011


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Kehidupan remaja yang kawin diusia muda tidak jarang terjadi ketegangan antara suami-istri seperti tidak terkendalinya emosi yang dilatar-belakangi kekurangsiapan mental dari pasangan usia muda tersebut yang pada akhirnya dapat menimbulkan tekanan sosial maupun ekonomi dalam rumah tangga.
Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sangat penting dan tak pernah terlupakan dalam perjalanan hidup seseorang dalam membentuk dan membina keluarga bahagia. Untuk itu diperlukan perencanaan yang matang dalam mempersiapkan segala sesuatunya meliputi aspek fisik, mental, dan sosial ekonomi. Perkawinan akan membentuk suatu keluarga yang merupakan unit terkecil yang menjadi sendi dasar utama bagi kelangsungan dan perkembangan suatu masyarakat bangsa dan negara. Perkawinan yang baik adalah perkawinan yang sah dan tidak di bawah tangan. Karena perkawinan adalah sakral dan tidak dapat dimanipulasikan dengan apa pun.
Oleh karena itu di idalam makalah ini akan membahas tenrang pernikahan usia dini.











BAB II
PEMBAHASAN


A.    Kawin Usia Muda
 Pengertian Perkawinan dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 pasal 1 merumuskan pengertian perkawinan sebagai berikut : “Perkawinan ialah ikatan lahir antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Menurut Ahmad A, mendefinisikan perkawinan adalah: melaksanakan Aqad (perikatan yang dijalin dengan pengakuan kedua belah pihak (antara seorang laki-laki dan seorang perempuan atas dasar keridhoan dan kesukaan kedua belah pihak, oleh seorang wali dari pihak perempuan menurut sifat yang telah ditetapkan syarat untuk menghalalkan hidup serumah dan menjadikan yang seorang condong kepada yang seorang lagi dan menjadikan masing-masing dari padanya sekutu (teman hidup).
Usia muda adalah anak yang ada pada masa peralihan diantara masa anak-anak dan masa dewasa dimana anak-anak mengalami perubahan cepat di segala bidang. Mereka bukan lagi anak-anak, baik bentuk badan, sikap dan cara berpikir dan bertindak, tetapi bukan orang dewasa yang telah matang (Zakiah Daradjat. [1]
Para ulama dari empat madzhab sepakat mengenai bolehnya perkawinan pasangan anak laki-laki yang masih kecil dengan perempuan yang masih kecil pula, apabila akadnya dilakukan oleh walinya. Tetapi para ulama berbeda pendapat mengenai keadaan walinya. Jelasnya adalah sebagai berikut:
a.       Pendapat Abu Hanifah
Abu Hanifah berpendapat bahwa perkawinan anak-anak itu boleh. Setiap wali, baik yang dekat maupun yang jauh dapat menjadi wali anak perempuannya yang masih kecil dengan anak laki-laki yang juga masih kecil. Wali ayah atau kakek lebih diutamakan, karena akadnya berlaku dengan pilihan kedua anak tersebut setrelah keduanya dewasa. Apabila akadnya dilakukan oleh wali bukan ayahnya atau kakeknya, misalnya oleh saudaranya, paman atau anak pamannya, maka kedua anak tersebut memilih untuk terus atau membatalkan perkawinan setelah keduanya dewasa.
b.      Pendapat Imam Syafi’i
Imam Syafi’i berpendapat bahwa perkawinan anak yang masih kecil itu diperbolehkan seperti pendapat Abu Hanifah. Tetapi yang berhak mengawinkan hanya ayah atau kakeknya. Bila keduanya tidak ada, maka hak mengawinkan anak yang masih kecil itu tidak dapat pindah wali lainnya.
c.       Pendapat Imam Malik
Imam Malik berpendapat bahwa perkawinan anak perempuan yang masih kecil dengan laki-laki yang juga masih kecil hanya dapat dilaksanakan oleh ayahnya sendiri apabila ayanhnya masih hidup. Kalau ayahnya sudah meninggal, nikahnya dilaksanakan oleh wali yang menerima wasiat dari ayahnya sebagai penghormatan kepada keinginan ayahnya sewaktu masih hidup atau setelah meninggal.[2]
Demikianlah pendapat para Imam yang terkenal dalam Islam tentang adanya perkawianan anak-anak. Tetapi ada pula sekelompok ulama yang melarang adanya perkawinan anak-anak sebelum mereka sampai pada usia kawin.
Mereka juga berkata : kedua anak itu belum perlu kawin, karena tujuan perkawinan adalah untuk pelepasan syahwat dan untuk memperoleh keturunan sedang anak-anak kecil tidak membutuhkan kedua tujuan itu. Alasan ketiganya : yaitu adanya akibat akad yang tidak baik, yaitu si anak berkewajiban melaksanakan isi akad yang tidak mereka buat.


B.     Pembatsan Usia Muda
Akad nikah adalah masalah penting dalam kehidupan masyarakat dan penting sekali, artinya dalam menentukan kebahagiaan rumah tangga. Keadaan menuntut adanya persiapan yang matang dalam membina rumah tangga. Pasangan suami istri belum akan mampu melaksanakan tujan perkawinan sebelum mereka sampai usia 21 tahun.
Disampinh itu, biasanya anak perempuan aka lebih dulu mampu mengatur rumah tangga. Pada usia yang sama daripada suaminya. Karena itu, cocok apabila usia kawin bagi anak laki-laki atau perempuan yang akan kawin dibatasi.
Pemerintah Mesir misalnya, memberikan batasan umur untuk dapat melangsungkan perkawinan secara resmi. Seorang pemuda baru dapat menikah setelah berysia 18 tahyn dan 16 tahun untuk usia perempuannya. Pelanggaran dalam administrasi yang mungkin dilakukan oleh petugas pencatat nikah akan memdapat sanksi yang memberatkan. Karena peraturannya masalah ini menyebutkan : Diancam dengan hukuman penjara tidak lebih dua tahun dan denda tidak lebih 100 pound bagi setiap yang menyatakan pemalsuan data umur seseorang agar dapat kawin. Dan diancam dengan hukuman penjara atau denda tidak lebih dari 200 juneh bagi setiap bagi setiap orang yang memberikan surat keterangan mengenai telah berlangsungnya pernikahan padahal ia tahu pada salah satu pihak (suami-istri) belum sampai pada batas umur yang telah ditetapkan/ ditentukan.[3]
C.     Dampak Perkawinan Usia Muda
Adapun dampak positif adalah sebagai berikut :
a.       Menghindari perzinahan
Jika ditinjau dari segi agama perkawinan usia muda pada dasarnya tidak dilarang, karena dengan dilakukannya perkawinan tersebut mempunyai implikasi dan tujuan untuk menghindari adanya perzinahan yang sering dilakukan para remaja yang secara tersirat maupun tersurat dilarang baik oleh agama maupun hukum.


b.      Belajar bertanggung jawab
Suatu perkawinan pada dasarnya yaitu untuk menyatukan dua insan yang berbeda baik secara fisik maupun psikologis. Oleh karena itu dalam kehidupannya suami/istri harus mempunyai konsekuensi serta komitmen agar perkawinan tersebut dapat dipertahankan. Dengan demikian dapat di tarik suatu kesimpulan bahwa dilakukannya suatu perkawinan akan memberikan motivasi/dorongan kepada seseorang untuk bertanggung jawab, baik pada dirinya sendiri maupun pada orang lain (istrinya).
Sedangkan dampak negatifnya adalah sebagai berikut :
c.       Segi Kesehatan
Dilihat dari segi kesehatan, pasangan usia muda dapat berpengaruh pada tingginya angka kematian ibu yang melahirkan, kematian bayi serta berpengaruh pada rendahnya derajat kesehatan ibu dan anak. Menurut ilmu kesehatan, usia yang kecil resikonya dalam melahirkan adalah antara usia 20-35 tahun, artinya melahirkan pada usia kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun mengandung resiko tinggi. Ibu hamil usia 20 tahun ke bawah sering mengalami prematuritas (lahir sebelum waktunya) besar kemungkinan dapat menyebabkan terjadinya cacat bawaan, fisik, maupun mental, penyakit ayan, kebutaan, dan ketulian.
d.      Segi Fisik
Pasangan usia muda belum mampu dibebani suatu pekerjaan yang memerlukan ketrampilan fisik, untuk mendatangkan penghasilan baginya, dan mencukupi kebutuhan keluarganya. Faktor ekonomi adalah salah satu faktor yang berperan dalam mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan rumah tangga. Rasa ketergantungan kepada orang tua harus dihindari. Utamanya bagi pria.

e.       Segi Mental/Jiwa
Pasangan usia muda belum siap bertanggung jawab secara moral, pada setiap apa saja yang merupakan tanggung jawabnya. Mereka sering mengalami kegoncangan mental, karena masih memiliki sikap mental yang labil dan belum matang emosionalnya.


f.       Segi Kependudukan
Perkawinan usia muda, ditinjau dari segi kependudukan mempunyai tingkat fertilitas (kesuburan) yang tinggi, sehingga kurang mendukung pembangunan di bidang kesejahteraan.

g.       Segi Kelangsungan Rumah Tangga
Perkawinan usia muda adalah perkawinan yang masih rawan dan belum stabil, tingkat kemandiriannya masih rendah serta menyebabkan banyak terjadinya perceraian.[4]


PENUTUP
Kesimpulan
. Perkawinan usia muda adalah perkawinan yang dilakukan oleh seseorang yang pada hakekatnya kurang mempunyai persiapan atau kematangan baik secara biologis, psikologis maupun sosial ekonomi. Perkawinan usia muda mempunyai dampak yang nyata terhadap tingkat kesejahteraan keluarga. Hal ini dapat ditinjau dari sisi keharmonisan dan ketentraman keluarga, keserasian dan keselarasan pasangan usia muda serta pemenuhan kebutuhan materiil dan spirituilnya masih kurang baik. Meskipun cenderung memberikan dampak























DAFTAR PUSTAKA

Al Hamdani, Risalah Nikah, (JakartaPustaka Amani, 2000).




[2] Al Hamdani, Risalah Nikah, (JakartaPustaka Amani, 2000), Hal. 76-77
[3] Al Hamdani, Risalah Nikah, (JakartaPustaka Amani, 2000), Hal. 76-77

[4] http://fatqur21.blogspot.com/2009/05/makalah-perkawinan-di-usia-muda.html 24 oktober 2011 17;00

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Welcome to My Blog

Popular Post

Blogger templates

Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © Informant -Yusuf Kanra- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -