Archive for Mei 2013
KONSEP ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN EKSISTENSIALISME DAN IMPLIKASINYA TERHADAP DISIPLIN DALAM PENDIDIKAN
Jumat, 03 Mei 2013
Posted by Unknown
Tag :
Kumpulan Makalah
KONSEP
ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN EKSISTENSIALISME DAN IMPLIKASINYA TERHADAP DISIPLIN
DALAM PENDIDIKAN
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas pada mata kuliah
“Filsafat Pendidikan”
Disusun oleh:
M. Yusuf Rudiantoro
( 210310209 )
Dosen Pengampu :
Dr. Miftakhul Ulum, M.Ag
JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PONOROGO
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam
dunia pendidikan, begitu kompleks permasalahan yang muncul dan harus dipecahkan
dengan maksud agar tercapainya tujuan pendidikan. Karenanya, hal tersebut
memunculkan timbulnya filsafat pendidikan dimana di dalamnya terbagi-bagi lagi
menjadi berbagai macam aliran. Salah satunya, adalah aliran pendidikan filsafat
eksistensialisme yang akan dibahas lebih lanjut dalam bab pembahasan.
Filsafat
eksistensialisme memfokuskan pembahasan pada pengalaman-pengalaman individu.
Eksistensialisme merupakan filsafat yang memandang segala gejala berpangkal
pada eksistensi. Sedangkan eksistensi itu sendiri ialah cara manusia berada di
dunia.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
sejarah lahirnya aliran filsafat eksistensialisme?
2.
Bagaiamana
konsep dasar aliran filsafat
eksistensilisme?
3.
Bagaimana
implikasi filsafat pendidikan eksistensialisme
terhadap disilpin dalam pendidikan?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah
lahirnya filsafat Eksistensialisme
Eksistensialisme
berasal dari pemikiran Soren Kier Kegard (Denmark:1813-1855).
Inti masalahnya ialah: Apa itu kehidupan manusia? Apa tujuan dari kegiatan
manusia? Bagaimana kita menyatakan keberadaban manusia? Pokok pemikirannya
dicurahkan kepada pemecahan yang konkret terhadap persoalan arti “berada”
mengenai manusia. Tokoh-tokoh lainnya yang kita kenal diantaranya: Martin Buber, Martin Heideger, Jean Paul Satre, Karl Jasper, Gabril Marcell, Paul Tillich.[1]
Tulisan-tulisan Jean Paul Satre (1905-1980),
filosof Prancis terkenal, penulis, dan penulis naskah drama, menjadi yang
paling bertanggung jawab untuk penyebaran gagasan-gagasan eksistensialisme yang
luas. Menurut Satre (Parkay, 1998), setiap individu
terlebih dahulu hadir dan kemudian ia harus memutuskan apa yang ada untuk
dimaknai. Tugas menentukan makna keberadaan/eksistensi ada pada individu
seseorang: tidak ada system keyakinan filosofis yang dirumuskan sebelumnya
dapat mengatakan pada seseorang siapa orang itu. Ini sampai masing-masing dari
kita memutuskan siapa kita adanya. Selanjutnya menurut Satre, “Eksistensi
mendahului esensi… Terlebih dahulu, manusia ada, hadir, muncul di panggung, dan
hanya setelah itu menentukan dirinya sendiri.[2]
Menurut
Parkay (1998) terdapat dua aliran pemikiran eksistensialisme, yang satu
bersifat theistic (bertuhan), yang lainnya atheistic (tidak bertuhan). Kebanyakan dari
pandangan-pandangan itu masuk kedalam aliran pemikiran pertama dengan menyebut diri mereka sendiri sebagai kaum
Eksistensialisme Kristen dan menunjukkan bahwa manusia memiliki suatu kerinduan
akan suatu wujud sempurna, Tuhan. Melalui kerinduan ini tidak membuktikan
keberadaan Tuhan, orang-orang dapat secara bebas memilih untuk tinggal dalam
kehidupan mereka seakan-akan ada Tuhan.[3]
Eksistensialisme atheistic memiliki pemikiran bahwa
pendirian tersebut (theistik) merendahakan kondisi manusia. Dikatakan bahwa
kita harus memiliki suatu fantasi agar dapat tinggal dalam kehidupan
tanggungjawab moral. Penfirian semacam itu membebaskan manusia dari tanggung
jawab untuk berhubungan dengan kebebasan pilihan sempurna yang dimiliki kita
semua. Pendirian itu juga menyebabkan mereka menghindari fakta yang ”didapat
itu terlepas”, “kita sendirian, dengan tidak ada maaf”, dan “kita terhukum agar
bebas”.[4]
B. konsep dasar aliran filsafat Eksistensilisme
Eksistensialisme adalah suatu
penolakan terhadap suatu pemikiran
abstrak, tidak logis atau tidak ilmiah. Eksistensialisme menolak bentuk kemutlakan
rasional. Dengan demikian aliran ini hendak memadukan hidup yang dimiliki
dengan pengalaman dan situasi sejarah yang ia alami dan tidak mau terikat oleh
hal-hal yang sifatnya abstrak serta
spekulatif, baginya, segala sesuatu dimulai dari pengalaman pribadi, keyakinan
yang tumbuh dari dirinyadan kemampuan
serta keluasan jalan untuk mencapai keyakinan hidupnya. Atas dasar pandangannya
itu , sikap dikalangan eksistensialisme atau penganut aliran ini sering kali tampak
aneh atau lepas dari norma-norma umum. Kebebasan untuk freedom to adalah lebih
banyak menjadi ukuran dalam sikap dan perbuatannya.[5]
Menurut eksistensialisme, Realitas adalah
kenyataan hidup itu sendiri. Untuk menggambarkan realitas, kita harus menggambarkan
apa yang ada dalam diri kita, bukan yang ada diluar kondisi manusia.
Eksistensialisme merupakan filsafat yang memandang segala gejala berpangkal
pada eksistensi. Eksistensi adalah cara manusia berada di dunia. Cara berada
manusia berbeda dengan cara beradanya benda-benda materi. Keberadaan
benda-benda materi berdasarkan ketidaksadaran akan dirinya sendiri, dan juga
tidak terdapat komunikasi antara satu dengan lainnya. Tidak demikian halnya
dengan beradanya manusia. Manusia berada bersama dengan manusia lainnya sama,
yaitu sederajat.
Pandangannya tentang
pendidikan disimpulkan oleh Van Cleve Morris dalam Existentialism and
Education, bahwa “Eksistensialisme tidak
menghendaki adeanya aturan-aturan pendidikan dalam segala bentuk” oleh sebab
itu eksistensialisme dalam hal ini menolak bentuk-bentuk pendidikan sebagaimana
yang ada sekarang. Namun bagaimana konsep pendidikan eksistensialisme yang
diajukan oleh Morris sebagai “Existentialism’s concept of freedom in
education”, menurut Bruce F. Baker, tidak memberikan kejelasan. Barangkali Ivan
Illich dengan Deschooling Society, yang banyak mengundang reaksi dikalangan
ahli pendidikan merupakan salah satu model pendidikan yang dikehendaki aliran
eksistensialisme. Di sini agaknya mengapa aliran eksistensialisme tidak
banyakdibicarakan dalam filsafat pendidikan.[6]
Eksistensialisme biasa
dialamatkan sebagai salah satu reaksi dari sebagian terbesar reaksi terhadap
peradaban manusia yang hampir punah akibat perang dunia kedua. Dengan demikian
eksistensialisme pada hakikatnya adalah merupakanaliran filsafat yang bertujuan
mengembalikan keberadaan umat manusia sesuai dengan keadaan hidup asasi yang
dimiliki dan dihadapinya.
Sebagai aliran filsafat,
eksistensialisme berbeda dengan filsafat eksistensi. Paham eksistensialisme secara
radikal menghadapkan manusia pada dirinya sendiri, sedangkan filsafat
eksistensi adalah benar-benar sebagai arti katanya, yaitu : “filsafat yang
menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral”. Maka, di sini letak
kesulitan merumuskan pengertian eksistensialisme – sebagai aliran filsafat.
Bahkan para filosof eksistensialis sendiri tidak memperoleh perumusan yang sama
tentang eksistensialisme itu per definisi.[7]
Menurut eksistensialisme ada 2 jenis filsafat tradisional,
filsafat spekulatif dan filsafat skeptif. Filsafat
spekulatif menyatakan bahwa pengalaman tidak banyak berpengaruh pada individu. Sedangkan Filsafat skeptif manyatakan bahwa semua pengalaman itu
adalah palsu, tidak ada sesuatu yang dapat kita kenal dari realita.
Menurut mereka konsep metafisika adalah sementara.[8]
Eksistensialisme adalah
aliran filsafat yang pahamnya berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya
yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak
benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak
benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran bersifat relatif,
dan karenanya masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya
benar.[9]
C.
Implikasi filsafat pendidikan Eksistensialisme terhadap disiplin
dalam pendidikan
Eksistensialisme
sebagai filsafat sangat menekankan individulitas dan pemenuhan diri secara
pribadi. Setiap individu dipandang sebagai makhluk unik, dan secara unik pula
ia bertanggungjawab terhadap nasibnya. Dalam hubungannya dengan pendidikan,
Sikun Pribadi (1671) mengemukakan bahwa eksistensialisme berhubungan sangat
erat dengan pendidikan karena keduanya bersinggungan satu sama lain pada
masalah-masalah yang sama, yaitu manusia, hidup, hubungan antar manusia,
hakikat kepribadian, dan kebebasan (kemerdekaan). Pusat pembicaraan
eksistensialisme adalah “keberadaan” manusia, sedangkan pendidikan hanya
dilakukan oleh manusia.[10]
Kehidupan ini penuh dengan berbagai pelaksanaan kebiasaan dan pengulangan
kegiatan secara rutin dari hari ke hari yang berlangsung tertib. Di dalam
kebiasaan dan kegiatan yang dilakukan secara rutin itu, terdapat nilai-nilai
atau norma-norma yang menjaditolak ukur tentang benar tidaknya sesuatu yang
dilakukan oleh seseorang. Norma-norma itu terhimpun menjadi aturan yang harus
dipatuhi, karena setiap penyimpangan atau pelanggaran, akan menimbulkan
keresahan, keburukan dan kehidupan pun berlangsung tidak efektif atau bahkan
tidak efisien. Dengan demikian berarti manusia dituntut untuk mematuhi berbagai
ketentuan atau harus hidup secara berdisiplin, sesuai dengan nilai-nilai yang
berlaku di masyarakatnya.[11]
Peserta didik sejak dini harus dikenalkan dengan nilai-nilai yang mengatur
kehidupan manusia, yang berguna bagi dirinya masing-masing agar berlangsung
tertib, efisien, dan efektif. Dengan kata lain setiap pesrta didik harus
dibantu hidup secara disiplin, dalam arti mau dan mampu mematuhi atau mentaati
ketentuan yang berlaku dilingkungan keluarga, masyarakat, bangsa, dan
negaranya.[12]
Hakekat pendidikan menurut eksistensialisme dalam pendidikan adalah menghendaki
agar pendidikan selalu melibatkan peserta didik dalam mencari pilihan-pilihan
untuk memenuhi kebutuhannya masing-masing dan menemukan jati dirinya, karena
masing-masing individu adalah makhluk yang unik dan bertanggung jawab atas diri
dan nasibnya sendiri.lalu metode yang digunakannya adalah untuk mendorong siswa
mengikuti proyek-proyek yang membantu mereka untuk mengembangkan keterampilan dan
pengetahuan yang di perlukan.[13]
Eksistensialisme berpendapat bahwa pelajar adalah individu yang dapat
mengembangkan potensinya masing-masing untuk mencapai jati dirinya. Sedangkan
pengajar adalah pembimbing dan stimulator berfikir reflektif melalui panggilan
pertanyaan-pertanyaan, bukan memberi intruksi, memiliki kejuruan ilmiah,
integritas, dan kreatifitas serta figure yang tidak mencampuri perkembangan
minat dan bakat siswa.[14]
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Eksistensialisme
adalah suatu penolakan terhadap suatu
pemikiran abstrak, tidak logis atau tidak ilmiah. Eksistensialisme menolak
bentuk kemutlakan rasional. Dengan demikian aliran ini hendak memadukan hidup
yang dimiliki dengan pengalaman dan situasi sejarah yang ia alami dan tidak mau
terikat oleh hal-hal yang sifatnya abstrak
serta spekulatif, baginya, segala sesuatu dimulai dari pengalaman
pribadi, keyakinan yang tumbuh dari
dirinyadan kemampuan serta keluasan jalan untuk mencapai keyakinan hidupnya.
Eksistensialisme
adalah filsafat yang memandang segala gejala dengan berpangkal kepada
eksistensi. Eksistensi adalah cara manusia berada di dalam dunia.
Eksistensialisme berasal dari pemikiran Soren Kier Kegard. Eksistensialisme
sebagai filsafat, sangat menekankan individualitas dan pemenuhan diri secara
pribadi. Eksistensialisme sangat berhubungan erat dengan pendidikan, karena
keduanya bersinggungan satu dengan yang lainnya pada masalah-masalah yang sama,
yaitu manusia, hidup, hubungan antar manusia, hakikat kepribadian, dan
kebebasan (kemerdekaan).
DAFTAR
PUSTAKA
As’adi Basuki dan Ulum
Miftakhul, Pengantar Filsafat Pendidikan,
(Ponorogo: STAIN Po Press. 2010)
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta:
Bumi Askara, 1994)
Ramayulis H, Ilmu Pendidikn Islam, (Jakarta: Kalam
Mulia, 2006)