Archive for Maret 2013

Mangaka Masashi Kishimoto mengumumkan klimaks Naruto

Minggu, 31 Maret 2013
Posted by Unknown

Pengarang Naruto, Masashi Kishimoto mengumumkan bahwa seri Naruto akan segera mencapai klimaks artinya sudah mendekati ending. Kishimoto juga mengumumkan bahwa dia akan membuat cerita nya semakin menarik dan juga sudah memutuskan bagaimana akhir manga nya yang telah dimulai sejak tahun 1999 ini, yang ia lakukan hanya perlu memperbaiki ending.

SUMBER: http://infoanimanga.blogspot.com/2012/06/masashi-kishimoto-mengumumkan-klimaks.html

Maqamat dan Ahwal

A.    Maqamat

Seorang sufi tidak begitu saja dapat dekat dengan tuhan sebelum ia menempuh latihan-lathian tertentu. Ia harus mwnwmpuh beberapa displin keronahian dalam berbagai pengalaman yang dirasakan dan diperoleh melalui usaha-usaha tertentu yang yang disebut maqam(stasiun).
Maqamat (bentuk jamak dai maqam) mengandung arti tngkatan-tingkatan hidup sufi yang telah dapat dicapai oleh para sufi untuk dekat pada Tuhan. Menurut Sarraj, Maqamat tinkatan-tingkatan seorang hamba di hadapan Tuhan dalam hal ibadah, mujahadah dan riadhah(memerangi dan menguasai hawa nafsu). Seseorang baru dapat pindah dan naik dari satu tingkat ketingkat yang lebih tinggi setelah melalui latihan dan melakukan kebiasaan yang lebih baik.
Jumlah maqam yang harus ditempuh oleh para sufi berbeda-beda sesuai dengan pengalaman pribadi yang bersangkutan. Abu Nasr Al-Sarraj menyebut tujuh maqam yaitu taubat, wara', zuhud, kefakiran, kesabaran, tawakal, dan keridaan. Al-Kalabdzi menyebut beberapa maqam yaitu taubat, zuhud, sabar , Al faqr, tawadlu, taqwa, tawakal, ridlo, mahabbah, dan ma'rifat. Menurut Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya' Ulum Al-Din mengatakan maqamat itu ada delapan yaiyu Al-taubah, Al-shabr, Al-zuhud, Al-tawakal, Al-mahabbah, Al-ma'rifat, dan Al-ridla.
Menurut al-Qusyairi (w. 465 H) maqam adalah tahapan adab (etika) seorang hamba dalam rangka wushul (sampai) kepadaNya dengan berbagai upaya, diwujudkan dengan suatu tujuan pencarian dan ukuran tugas. Adapun pengertian maqam dalam pandangan al-Sarraj (w. 378 H) yaitu kedudukan atau tingkatan seorang hamba dihadapan Allah yang diperoleh melalui serangkaian pengabdian (ibadah), kesungguhan melawan hawa nafsu dan penyakit-penyakit hati (mujahadah), latihan-latihan spiritual (riyadhah) dan mengarahkan segenap jiwa raga semata-mata kepada Allah.



  1. Taubah
At-Taubah  berasal dari bahasa arab taba, yatubu, taubatan yang artinya kembali. Sedangkan taubah yang di maksud oleh kalangan sufi ialah memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan disertai janji yang sungguh-sungguh tidak akn mengulangi perbuatan dosa tersebut, yang disertai dengan melakukan amal kebajikan. Ibnu Hamdan mengatakan bahwa taubah adalah kembali dari sesuatu yang diketahui tercela kepada sesuatu yang terpuji. Al-Ghazali memberikan definisi taubat adalah kembali dari kemaksiatan menuju ketaatan kembali dari jalan jauh kejalan yang lebih dekat. Tobat bukan hanya sebagai penghapis dosa, tetapi juga sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Tobat yabg dimaksud sufi adalah tobat yang sebenar-benarnya, tobat yang tidak akan kembali berbuat dosa.
Di dalam al-Qur'an banyak dijumpai ayat-ayat yang menganjurkan manusia agar bertaubat di antaranya:
Artinya : "Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung". (Q.S. An-Nuur : 31)

  1. Zuhud
Secara harfiyah zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat keduniawian. Sedangkan menurut Harun Nasution zuhud artinya keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Selanjutnya Al-Qusyairi mengatakan bahwa diantara para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan zuhud. Sebagian ada yang mengatakan bahwa zuhud adalah orang yang zuhud di dalam masalah yang haram karena yang halal adalah sesuatu yang mubah dalam pandangan Allah yaitu orang yang diberikan nikmat berupa harta yang halal, kemudian ia bersyukur dan meninggslksn dunia itu dengan kesadarnya sendiri. Sebagian ada pula yang mengatakan bahwa zuhud adalah zuhud dalam yang haram sebagai suatu kewajiban. Bagi seorang sufi, zuhud merupakan stasiun penting yang harus dilalui. Tanpa jalan zuhud, calon sufi tidak akan mencapai derajat sufi. Ahmad bin Hanbal membagi zuhud menjadi tiga macam: Pertama zuhud awam dengan meninggalkan yang haram. Kedua zuhud orang khawas dengan meninggalkan yang halal dan ketiga zuhud orang yang arif dengan meninggalkan apa saja yang akan  menghalanginya dari Allah.
Menurut Syaikh Syihabuddin ada tiga jenis kezuhudan yaitu : pertama, Kezuhudan orang-orang awam dalam peringkat pertama. Kedua, kezuhudan orang-orang khusus (kezuhudan dalam kezuhudan). Hal ini berarti berubahnya kegembiraan yang merupakan hasil daripada zuhud hanyalah kegembiraan akhirat, sehingga nafsunya benar-benar hanya dipenuhi dengan akhirat. Ketiga, Kezuhudan orang-orang khusus dikalangan kaum khusus. Dalam peringkat ketiga ini adalah kezuhudan bersama Allah. Hal ini hanyalah dikhususkan bagi para Nabi dan manusia suci. Mereka telah merasa fana’ sehingga kehendaknya adalah kehendak Allah. Sedangkan menurut al-Sarraj ada tiga kelompok zuhud :
1.      Kelompok pemula (mubtadiin), mereka adalah orang-orang yang kosong tangannya dari harta milik, dan juga kosong kalbunya.
2.      Kelompok para ahli hakikat tentang zuhud (mutahaqqiqun fi al-zuhd). Kelompok ini dinyatakan sebagai orang-orang yang meninggalkan kesenangan-kesenangan jiwa dari apa-apa yang ada di dunia ini, baik itu berupa pujian dan penghormatan dari manusia.
3.      Kelompok yang mengetahui dan meyakini bahwa apapun yang ada di dunia ini adalah halal bagi mereka, namun yakin bahwa harta milik tidak membuat mereka jauh dari Allah dan tidak mengurangi sedikitpun kedudukan mereka, semuanya semata-mata karena Allah.
Orang yang zuhud lebih mengutamakan atau mengejar kebahagiaan hidup di akhirat yang kekal dan abadi, daripada mengejar kehidupan di dunia yang fana' dan sepintas selalu. Hal ini dapat dipahami dari isyarat ayat yang berbunyi;
Artinya: "Katakanlah: "Kesenangan di dunia Ini Hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun." (Q.S. Al-Nisa' : 77)
  1. Wara'
Wara' secara harfiyah artinya saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Dalam pengertian sufi wara' adalah meninggalkan yang di dalamnya terdapat keragu-raguan atau subhad. Defenisi wara' menurut Abu zakaria al-Anshari adalah menjauhkan diri dari subhad dan dari yang tidak membawa kebaikan dalam kehidupan agama, walaupun halal. Imam al-Khusyairi mengutip perkataan Ibrahim bin Adam yang mengatkan bahwa wara' adalah meninggalkan yang subhad dan segala yang tidak jadi kepentingannya, yaitu segala yang berlebih-lebihan.
Dilihat dari segi jenisnya wara' terbagi dua: wara' anggota lahir dan anggota batin. Wara' lahir adalah tidak menggerakkan anggota badan melainkan kepada yang diridhai Allah. Sedangkan wara' batin adalah tidak memasukkan kepada ingatan dan kenangan kecuali kepada Allah. Al-Saraj membagi wara' menjadi tiga tingkatan: Memelihara diri dari yang subhad, memelihara diri dari yang halal yang akan membawa kepada maksiyat dan memelihara diri dari sesuatu yang halal yang akan membawa lupa kepada Allah.

  1. Fakr
Secara harfiyah fakr biasanya diartikan seperti orang yang berhajad, butuh atau orang yang miskin. Sedangkan dalam pandangan sufi fakr adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita. Menurut Ibnu Qudamah, fakr adalah orang yang berhajad kepada sesuatu. Karena itu selain Allah adalah fakr karena ia selalu behajad kepada Allah dan selalu memerlukan kemurahan-Nya. Menurut Imam al-Ghazali sikap fakr yang senanti asa berhajad kepada Allah adalah sebagian dari iman dan buah dari ma'rifat yang mendalam sehingga dalam pandangan si fakr merasakan bahwa ia selalu berhajad atau berkehendak kepada Allah.
            Dzu al-Nun mengatakan:
            "Alamat seorang hamba akan mendapat murka Tuhan adalah takut fakir".

Ada tiga hal yang diperhatikan orng sufi, yaitu pertama benda yang diberikannya apakah halal, haram atau subhad. Kedua si pemberi tidak mempunyai tujuan untuk keuntungan atau kepentingan sendiri. Ketiga  tujuan pemberian hanyalah mengharap pahala dari Allah.

  1. Sabar
Secara harfiyah sabar berarti tabah hati. Menurut Zun al-Nun al-Misyri sabar artinya menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah, tetapi tenang ketika mendapatkan cobaan, dan menampakkan sikap cukup walaupun sebenarnya berada dalam kefakiran dalam bidang ekonomi. Ibnu Atha mengatakan sabar artinya tetap tabah dalam menghadapi cobaan dengan sikap yang baik. Ibnu Usman al-Hairi mengatakan sabar adalah orang yang mampu memasung dirinya atas segala sesuatu yang kurang menyenangkan.

Artinya : "Maka Bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul Telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka. pada hari mereka melihat azab yang diancamkan kepada mereka (merasa) seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat pada siang hari. (Inilah) suatu pelajaran yang cukup, Maka tidak dibinasakan melainkan kaum yang fasik." (Q.S. Al-ahqaf : 35)
Al-Ghazali menyebutkan sabar sebagai kondisi jiwa dalam mengendalikan nafsu yang terjadi karena dorongan agama. Ia membagi sabar kepada tiga tingkatan yaitu;
a.       Sabar tertinggi, yaitu sifat yang mampu menghadapi semua dorongan nafsu, sehingga nafsu benar-benar dapat ditundukkan.
b.      Sabar orang-orang yang sedang dalam perjuangan. Pada tahap ini mereka terkadang dapat menguasai hawa nafsu, tetapi terkadang mereka dikuasai hawa nafsu. Sehingga campur aduk antara yang baik dan yang buruk,
c.       Tingkatan terendah yaitu sabar karena kuatnya hawa nafsu dan kalahnya dorongan agama.
  1. Tawakal
Tawakal berarti keteguhan hati dalam menyerahkan urusan kepada orang lain. Tawakal sebagai sikap mental seorang sufi merupakan hasil dari keyakinannya yang bulat sepenuhnya kepada allah. Tawakal terdiri dari tiga tingkatan. Pertama, tingkat bidayah(pemula), yakni tawakalpada tingkat hati yang slalu merasa tentram terhadap apa yang sudah dijanjikan Allah. Kedua, tingkat mutawasitthah (pertengahan), yakni tawakal pada tingkat hati yang merasa cukup menyerahkan segala urusan kepada Allah karena yakin bahwa Allah mengetahui keadaan dirinya. Ketiga tingkat nihayah  (terakhir), yakni tawakal pada tingkat terjadi penyerahan diri seseorang pada ridha atau merasa lapang menerima segala ketentuan Allah.
Tawakkal dalam tasawuf dijadikan washilah untuk memalingkan dan menyucikan hati manusia agar tidak terikat dan tidak ingin dan memikirkan keduniaan serta apa saja selain Allah. Pada dasarnya makna atau konsep tawakkal dalam dunia tasawuf  berbeda dengan konsep agama. Tawakkal menurut para sufi bersifat fatalis, menggantungkan segala sesuatu pada takdir dan kehendak Allah. Syekh Abdul Qadir Jailany menyebut dalam kitabnya bahwa semua yang menjadi ketentuan Tuhan sempurna adanya, sungguh tidak berakhlak seorang salik jika ia meminta lebih dari yang telah ditentukan Tuhan.

  1. Ridha
Ridha adalah suatu sikap mental yang mesti dimiliki dan dijalani oleh seorang sufi, karena dengan sikap mental, kebersihan, kesempurnaan dan ketinggian rohani dapat tercapai. Menurut al-Qushairi ridha adalah tidak menentang apa yang ditetapkan oleh Allah. Rabiah al-Adawiyah mengatakan bahwa ridha adalah ketika mendapat bencana, perasaan cinta kepada Allah sama seperti saat mendapat nikmat.
Ridha menurut al-Sarraj merupakan sesuatu yang agung dan istimewa, maksudnya bahwa siapa yang mendapat kehormatan dengan ridha berarti ia telah disambut dengan sambutan paling sempurna dan dihormati dengan penghormatan tertinggi. Dalam kitabnya al-Luma’ al-sarraj lebih lanjut mengemukakan bahwa maqam ridha adalah maqam terakhir dari seluruh rangkaian maqamat. Imam al-Gazali mengatakan bahwa hakikat ridha adalah tatkala hati senantiasa dalam keadaan sibuk mengingatnya. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa seluruh aktivitas kehidupan manusia hendaknya selalu berada dalam kerangka mencari keridhaan Allah.


B.     Ahwal
Ahwal bentuk jamak dari hal. Hal adalah sikap rohaniyah (mental) seorang sufi dalam perjalanan tasawufnya. Perbedaan antara maqam dan hal adalah kalau maqam merupakan sikap hidup yang harus diusahakan dengan kesungguhan dan latihan, sedangkan ahwal merupakan anugerah Allah bagi yang dikendaki-Nya.
Ibn Arabi menyebut hal sebagai setiap sifat yang dimiliki seorang salik pada suatu waktu dan tidak pada waktu yang lain, seperti kemabukan dan fana’. Eksistensinya bergantung pada sebuah kondisi. Ia akan sirna manakala kondisi tersebut tidak lagi ada. Hal tidak dapat dilihat dilihat tetapi dapat dipahami dan dirasakan oleh orang yang mengalaminya dan karenanya sulit dilukiskan dengan ungkapan kata.
Telah disebutkan diatas bahwa penjelasan mengenai perbedaan maqamat dan hal membingungkan karena definisi dari masing-masing tokoh tasawuf berbeda tetapi umumnya yang dipakai sebagai berikut: Maqamat adalah perjalanan spiritual yang diperjuangkan oleh para sufi untuk memperolehnya. Perjuangan ini pada hakikatnya merupakan perjuangan spiritual yang panjang dan melelahkan untuk melawan hawa nafsu termasuk ego manusia yang dipandang sebagai berhala besar dan merupakan kendala untuk menuju Tuhan. Didalam kenyataannya para Salik memang untuk berpindah dari satu maqam ke maqam lain memerlukan waktu berbilang tahun, sedangkan “ahwal” sering diperoleh secara spontan sebagai hadiah dari Tuhan. Lebih lanjut kaum sufi mengatakan bahwa hal adalah anugerah dan maqam adalah perolehan (kasb). Tidak ada maqam yang tidak dimasuki hal dan tidak ada hal yang terpisah dari maqam.
Beberapa ulama mengatakan bahwa hal adalah sesuatu yang tidak diam  dan tidak mengikat (dinamis). Al-Gazali dalam memberi pandangan yang menyatakan bahwa apabila seseorang telah mantap dan tetap dalam suatu maqam, ia akan memperoleh suatu perasaan tertentu dan itulah hal. Mengenai hal ini ia juga memberi contoh tentang warna kuning yang dapat dibagi menjadi dua bagian, ada warna kuning yang tetap seperti warna kuning pada emas dan warna kuning yang dapat berubah seperti pada sakit kuning. Seperti itulah kondisi atau hal seseorang. Kondisi atau sifat yang tetap dinamakan maqam sedangkan yang sifatnya berubah dinamakan hal. Menurut Syihabuddin Suhrawardi seseorang tidak mungkin naik ke maqam yang lebih tinggi sebelum memperbaiki maqam sebelumnya. Namun, sebelum beranjak naik, dari maqam yang lebih tinggi turunlah hal yang dengan itu maqamnya menjadi kenyataan.
Adapun Ahwal itu banyak macamnya, diantaranya sebagai berikut:
1.      Khauf
Khauf artinya merasakan takut akan terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan pada masa yang akan datang. Menurut Imam Al-Qusairi: ''Khauf akan terjadi pada suatu masa yang akan datang, baik karna tidak disenangi atau karena khawatir akan luput dari yang dicintai". Orang yang takut kepada Allah akan takut kepada yang lain termasuk takut kepada dirinya. Takut kepada Allah berarti takut kepada kebesaran dan kekuasaan-Nya, sedangkan takut pada dirinya berarti takut karena merasa takut terhadap sesuatu yang akan menimpa dirinya. Abu Al-Kasim Al-Hakim mengatakan, seseorang yang takut kepada sesuatu selain Allah akan lari dari sesuatu yang ditakutinya, dan seseorang yang takut kepada Allah, justru akan mendekati-Nya dan akan semakin bertambah taat dan patuh kepada perintah-Nya.
Al-Ghazali membagi khauf kepada dua macam: khauf karena kehilangan nikmat dan khauf karena siksaan. Khauf karna kehilangan nikmat akan mendorong seseorang selalu akan memelihara nikmat dan menempatkannya secara proposional. Sedangkan khauf karna siksa akan mendorong seseorang untuk selalu melaksanakan perintah Allah dan menjauhi apa yang dilarang-Nya.
Ibn Qudamah mengemukakan macam-macam bentuk khauf sebagai sikap mental seorang sufi. Di antaranya ada yang takut menghadapi maut; dalam maut yang membuat seseorang terlambat tobat.. Ada yang takut kalau timbul kecenderungan maninggalkan ketekunan dan goyah dalam pendirian agama. Ada yang takut kalau terjadi su'al-khatimah pada akhir hayatnya. Ada lagi yang takut kalau terhalang dari Allah karena mengikuti hawa nafsu.

2.      Tawadu
Tawadhu dapat diartikan merendahkan diri dan berlaku hormat kepada siapa saja. Adapun tawadhu yang menjadi sikap mental sufi adalah selalu merendahkan diri, baik kepada manusia maupun kepada Allah, karna orang sombong selalu menolak kebenaran dan menganggap remeh orang lain. Tawadu kepada Allah sebagaimana dikatakan oleh Ruwayim, berarti menghinakan diri terhadap Allah Yang Maha Mengetahui atas segala hal yang abstrak (gaib). Sahal mengemukakan, tawadu adalah sesorang bersikap rida terhadap Allah, mnerima kebenaran dari Yang Maha benar dan hanya karena-Nya.

3.      Taqwa
Takwa berasal dari kata wiqayah, berarti tetpelihara dari kejahatan, karena ada keinginannya yang kuat untuk meninggalkan kejahatan. Al-Ghazali mengatakan, takwa merupakan ketundukan dan ketaatan (manusia) kepada perintah Allah dan menjauhi segala yang dilarang-Nya. Ibnu Athaillah membagi taqwa menjadi dua macam: Takwa lahir dan takwa batin. Takwa lahir dilakukan melalui pemeliharaan terhadap hukum-hukum Allah yang telah ditetapkan-Nya, sedangkan takwa batin dilakukan dengan menanamkan niat suci dan keikhlasan murni dalam beramal.

4.      Ikhlas
Secara umum ikhlas berarti hilangnya rasa pamrih atas segala sesuatu yang diperbuat. Menurut kaum sufi, seperti dikemukakan Abu Zakaria Al-Anshari, orang yang ikhlas adalah orang yang tidak mengharapkan apa-apa lagi. Dzun Al-            Nun Al-Misri mengatakan ada tiga cirri orang yang ikhlas, yaitu seimbang sikap dalam menerima pujian dan celaan orang, lupa melihat perbuatan dirinya, dan lupa menuntun balasan di akherat kelak. Sejalan dengan pendapat Dzun Al-Nun, Abu Abbas bin Atha menatakan bahwa ikhlas adalah perbuatan-perbuatan yang bersih dari maksud-maksud tertentu yang diinginkan oleh pelaku dari perbuatan tersebut.

5.      Syukur
Menurut Abu Ali Daqaq, syukur adalah pengakuan terhadap nikmat yang telah diberikan Allah kepadanya dengan kedudukannya. Selanjutnya ia membagi syukur beberapa bentuk: syukur dengan lisan berupa pengakuan terhadap nikmat Allah, syukur dengan tubuh berupa penggunaan nikmat itu dalam menaati Allah, dan syukur dengan hati berupa pengakuan serta membesarkan pemberi nikmat (Allah). Dalam hal ini Al-Ghazali mengatakan bahwa syukur merupakan sikap mental tertinggi dari segala sikap mental, karena syukur bukan alat tetapi tujuan. Jadi, syukur merupakan muara dari segala sikap mental yang dimiliki kaum sufi.
Dalam pandangan tasawuf, nikmat hakiki adalah kebahagiaan di akhirat yang abadi, sedangkan nikmat dunia itu hanya sementara belaka. Hal ini sesuai firman Allah dalam surat Ibrahim ayat 7

Artinya : "Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (Q.S. Ibrahim : 7)




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam pola kehdupan umat islam sejarah tdak hanya digunakan sebagai pedoman dan cerminan, namun juga sebagai instrumen untuk memahami secara lebih mendalam tentang makna yang tersirat dalam islam. Sejarah adalah kisah nyata dari masa lalu yang dijadikan acuan bagi masa kn dan masa mendatang demi terealisasinya kehidupan yang lebih bak.
Untuk itu tdak ada salahnya mempelajari sekilas sejarah yang terjadi di masa lalu terkait dengan sejarah tentang agama islam. Hal itu dilakukan agar mengetahui bagaimana keadaan islam sesungguhnya. Lebih jauh lagi agar dapat mengambil hikmah dan teladan yang terkandung dalam nilai-nilai sejarah islam.
Dalam makalah ini, akan mengulas sedikit tentang peradaban islam pada masa Dinasti Umawiyah I, yang bahasannya meliputi: Proses Berdirinya  Dinasti Umawiyah, para khalifah, sstem pemerintahan, dan perkembangan peradaban.

B.     Rumusan Masalah
1.    Proses Berdirinya  Dinasti Umawiyah
2.    Para Khalifah Dinasti Umawiyah l
3.    Sistem Pemerintahan.
4.    Perkembangan Peradaban



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Proses Berdirinya  Dinasti Umawiyah

Sepeninggal Ali bin Abu Thalib, gubernur Syam tampil sebagai penguasa Islam yang kuat. Masa kekuasaannya merupakan awal kedaulatan Bani Umayah. Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb adalah pembangun dinasti Umayah dan sekaligus menjadi khalifah pertama. Ia memindahkan ibukota kekuasaan Islam dari Kufah ke Damaskus. (Mufrodi, 1997: 69)
     Keberhasilan Muawiyah dalam meraih jabatan khalifah dan membangun pemerintahan Bani Umayah bukan hanya akibat dari kemenangan diplomasi di Shiffin dan terbunuhnya Khalifah Ali saja, melainkan merupakan hasil akhir dari peristiwa-peristiwa politik yang dihadapinya dan karir politiknya yang cukup cemerlang.
Pada awal pemerintahan Ali bin Abu Thalib, Muawiyah diminta untuk meletakkan jabatan, tetapi ia menolaknya. Bahkan ia tidak mengakui kekhalifahan Ali dan memanfaatkan peristiwa berdarah yang menimpa Usman bin Affan untuk menjatuhkan legalitas kekuasaan Ali dengan membangkitkan kemarahan rakyat dan menuduh Ali sebagai orang yang mendalangi pembunuhan Usman, jika Ali tidak dapat menemukan dan menghukum pembunuh yang sesungguhnya. (Mufrodi, 1997: 65)
Desakan Muawiyah tersebut mengakibatkan terjadinya pertempuran sengit antara pihaknya dan pihak Ali sebagai khalifah di kota tua Shiffin yang berakhir dengan proses tahkim (arbitrase) pada tahun 37 H. Dalam pertempuran yang memakan waktu berhari-hari ini, menurut catatan al-Thabari (V/48), sebenarnya pihak Muawiyah sudah terdesak dan merasa khawatir akan kalah. Pada saat inilah timbul gagasan dari ‘Amr bin al-‘Ash untuk menghentikan perang sementara dengan cara mengangkat mushaf al-Quran. Gagasan ini disambut baik oleh Muawiyah. Peristiwa ini kemudian berlanjut pada terjadinya perundingan damai melalui proses tahkim.
Pihak Muawiyah bersama penduduk Syam sepakat menunjuk ‘Amr bin al-‘Ash sebagai wakil bagi perundingan tersebut. Sedangkan pihak Ali bin Abu Thalib, atas usulan dari al-Asy’as, Zaid bin Hushain at-Thai, dan Mis’ar bin Fadaki, diwakili oleh Abu Musa al-Asy’ari.
Setelah kedua belah pihak menyepakati wakilnya masing-masing, mereka pun menulis surat kesepakatan yang dihadiri oleh para saksi dari kedua belah pihak. Inti dari kesepakatan yang dibuat pada bulan Shafar tahun 37 H ini adalah gencatan senjata dan akan bertemu kembali dalam sebuah perundingan pada bulan Ramadhan di Dumatul Jandal wilayah Adzruh.
Menurut al-Waqidi, pertemuan ini terjadi pada bulan Sya’ban tahun 38 H  Sesuai dengan kesepakatan sebelumnya, pada bulan Ramadhan, kedua belah pihak bertemu lagi di Dumatul Jandal disertai pasukannya masing-masing sebanyak 400 orang. Dalam pertemuan ini, ‘Amr bin al-‘Ash dan Abu Musa al-Asy’ari berunding untuk menentukan khalifah. ‘Amr mengajukan Muawiyah, tetapi ditolak oleh Abu Musa. Kemudian ia menawarkan anaknya, Abu Musa pun menolaknya. Lalu Abu Musa mengajukan Abdullah bin Umar, tetapi ‘Amr menolaknya. Akhirnya Abu Musa mengusulkan agar Muawiyah dan Ali dilepas jabatannya terlebih dahulu dan penyelesaian akan diserahkan kepada musyawarah umat secara umum. ‘Amr bin al-‘Ash menyetujuinya.
Setelah bersepakat, keduanya menghadap kepada dua pasukan ini. Lalu ‘Amr meminta Abu Musa untuk menyampaikan kesepakatan itu lebih dulu dengan alasan ia lebih senior. Setelah Abu Musa menyampaikan isi kesepakatan itu, ‘Amr bin al-‘Ash tampil dan menyampaikan pidatonya. Ia mengatakan, “Sesungguhnya masalah ini, sebagaimana kalian dengar darinya tadi, dan ia telah melepas jabatan sahabatnya. Aku pun melepas jabatan sahabatnya sebagaimana ia melakukannya. Dan sekarang, aku menetapkan sahabatku, Muawiyah, karena dia termasuk walinya Usman bin Affan dan yang menuntut hukuman bagi pembunuh Usman, serta ia termasuk orang yang lebih berhak menduduki jabatan ini”. Mendengar pidato ini, Abu Musa pun marah. Lalu keduanya saling mencaci maki. Syuraih bin Hani, dari pihak Ali, mengangkat cemetinya dan mencambuk ‘Amr bin al-‘Ash. Putra ‘Amr membalasnya. Kemudian orang-orang berdiri dan memisahkannya, lalu mereka pun berpencar dengan membawa keputusan yang merugikan sebelah pihak ini.
     Seusai proses tahkim, lama kelamaan pasukan Ali terus berkurang dan melemah. Kelompok Khawarij yang berjumlah sekitar 12.000 orang turut serta merepotkan Ali. Wilayah kekuasaannya pun terus digerogoti oleh pasukan Muawiyah. Sementara kekuatan Muawiyah semakin kokoh. Dia mendapat dukungan yang kuat dari rakyat Syam dan keluarga Bani Umayah.
Kelompok Khawarij, walaupun Ali sudah beberapa kali mencoba untuk membujuk mereka agar bertobat dan kembali kepada barisan Ali, terus menerus menyimpan kekesalannya. Hingga akhirnya, mereka bersepakat untuk membunuh tiga orang yang langsung terlibat dalam proses tahkim; Ali, Muawiyah, dan ‘Amr bin al-‘Ash. Tetapi usaha pembunuhan itu hanya berhasil membunuh Ali. Sedangkan Muawiyah dan ‘Amr bin al-‘Ash selamat. Pada tanggal 17 Ramadhan 40 H (660 M), Ali ditikam oleh seorang anggota Khawarij yang bernama Binu Muljam dan meninggal dunia pada tanggal 20 Ramadhan 40 H.
Pada tahun ini, warga Kufah membaiat al-Hasan untuk menggantikan posisi ayahnya. Al-Hasan pun menerima baiat dari mereka. Tetapi tidak lama kemudian, dengan kegamangan hati mereka, mereka pun tidak sanggup menghadapi pasukan Muawiyah. Akhirnya al-Hasan mengajukan posisinya kepada Muawiyah melalui perjanjian damai. Perjanjian ini dapat mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan politik di bawah Muawiyah bin Abu Sufyan. Di sisi lain, perjanjian itu juga menyebabkan Muawiyah menjadi penguasa absolut dalam Islam. Tahun 41 H (661 M), tahun persatuan itu, dikenal dalam sejarah sebagai tahun jama’ah (‘am al-jama’ah). (Yatim, 1993: 40)[1]



B.     Para Khalifah Dinasti Umawiyah l

Dinasti Umawiyah yang ibukota pemerintahanya di Damaskus, berlangsung selama 91 tahun. Masa permulaan di tandai dengan usaha-usaha Mu’awyah meletakkan dasar-dasar pemerintahan dan orientasi kekuasaan. Kejayaan Sani Umayah dimulai pada masa pemerintahan ‘Abd al-Malik. Dia danggap sebagai pendri dinasti Umayah kedua karena mampu mencegah disintegrasi yang telah terjadi sejak masa Marwan. Kejayaan Bani Umayyah berakhir pada masa pemerintahan ‘Umar ibn ‘Abd al-Aziz (‘Umar II). Pada tahun 750 terjadi pertempuran antara pasukan Abbasiyah yang dipmpn oleh Abu Muslim Al-Khurasani dan pasukan Umawiyyah terjadi di Irak. Tidak lama kemudian Damaskus jatuh ke tangan kekuasaan Bani Abbas. 
Adapun urutan-urutan khalifah Umayah I adalah sebagai berikut.[2]
1.         Muawiyah I bin Abi Sufyan (41-60H/661-680M)
2.         Yazid bin Muawiyah (60-64H/680-683M)
3.         Muawiyah II bin Yazid (64H/683-683M)
4.         Marwan bin Hakam (64H/684M)
5.         Abdul Malik bin Marwan (65-86H/685-705M)
6.         Al-Walid bin Abdul Malik (86-96H/705-715M)
7.         Sulaiman bin Abdul Malik (96-99H/715-717M)
8.         Umar bin Abdul Aziz (99-101H/717-720M)
9.         Yazid bin Abdul Malik (101-105H/720-724M)
10.     Hisyam bin Abdul Malik (105-125H/724-743M)
11.     Al-Walid II bin Yazid (125-126H/743-744M)
12.     Ibrahim bin al-Walid(126-127H/744M)
13.     Marwan II bin Muhammad (127-132H/744-750M)

C.    Sistem Pemerintahan.
Memasuki masa kekuasaan Muawiyah yang menjadi awal kekuasaan Bani Umayah ini, sistem pemerintahan Islam yang dulunya bersifat demokrasi berubah menjadi monarki heredetis (kerajaan turun temurun). Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. (Binu Taimiyah, 1951: 42)
Perintah ini tentu saja memberikan sinyal awal bahwa kesetiaan terhadap Yazid merupakan bentuk pengokohan terhadap sistem pemerintahan yang turun temurun telah coba dibangun oleh Muawiyah. Tidak ada lagi suksesi kepemimpinan berdasarkan asas musyawarah (syuro) dalam menentukan seorang pemimpin baru. Muawiyah telah merubah model kekuasaan dengan model kerajaan yang membenarkan regenerasi kekuasaan dengan cara memberikan kepada putera mahkota. Orang-orang yang berada di luar garis keturunan Muawiyah, secara substansial tidak memiliki ruang dan kesempatan yang sama untuk memimpin pemerintah umat Islam, karena sistem dinasti hanya membenarkan satu kebenaran bahwa suksesi hanya bisa diberikan kepada keturunan dalam dinasti tersebut. (Suhaidi, dee­Muhammad­.blog­spot.com)
Tradisi bentuk khilafah konfederasi yang dicanangkan oleh Rasulullah pada tahun 622 M (awal periode Madinah), terus berlanjut hingga masa Dinasti Umayah sejak tahun 661 M. Bedanya, Rasulullah menerapkan bentuk konfederasi kabilah, sedangkan Dinasti Umayah menerapkan konfederasi propinsi. Untuk menangani banyaknya propinsi yang ada, maka khalifah ketika itu, Muawiyah bin Abu Sofyan, mencoba menggabung beberapa wilayah menjadi satu propinsi. Wilayah-wilayah ini terus berkembang sejalan dengan keberhasilan program futuhat (ekspansi). Setiap gubernur memilih amir atas jajahan yang berada dalam kekuasaannya, dan para amir tersebut bertanggung jawab langsung kepada khalifah. Konsekuensinya, para amir berfungsi sebagai khalifah di daerah. Nilai politis kebijakan ini adalah upaya sentralisasi wilayah kekuasaan, mengingat potensi daerah-daerah tersebut dalam menopang jalannya pemerintahan, baik dari sudut pandang ekonomi, maupun keamanan dan pertahanan nasional. Pada masa Hisyam bin Abdul Malik, gubernur mempunyai wewenang penuh dalam hal administrasi politik dan militer dalam propinsinya, namun penghasilan daerah ditangani oleh pejabat tertentu (sahib al-kharaj) yang mempunyai tanggung jawab langsung pada khalifah.

D.    Perkembangan Peradaban
Bidang arsitektur (seni bangunan) pada zaman Umawiyyah bertumpu pada bangunan spil berupa kota-kota dan bangunan agama berupa masjid. Damaskus yang pada  masa sebelum slam merupakan ibukota kerajaan Romawi timur di Syam adalah kota lama yang di bangun kembali pada masa Umawiyyah dan dijadikan ibukota dnast ini. Pada masa al-Walid dibangun masjid agung yang terkenal dengan nama masjid Damaskus atas kreasi arsitektur Abu Ubaidah ibn Jarrah. Pada masa Umawiyah organisasi militer terdiri dari angkatan darat (al-jund), angkatan laut (al-bahriyah), dan angkatan kepolisian (as-syurthah).
Bidang perdagangan pada saat dinasti Umawiyah berhasil menguasai wilayah yang cukup luas, maka lalu lintas perdagangan mendapat jaminan yang layak. Lalu lintas darat melalui jalan Sutera ke Tiongkok guna memperlancar perdagangan sutera, keramik, obat –obatan dan wewangian. Adapun lalu lintas di lautan kea rah negri-negri belahan timur untuk mencari rempah-rempah, bumbu, anbar, katsuri, permata, logam mulia, gading dan bulu-buluan. [3]





BAB III
KESIMPULAN
Sepeninggal Ali bin Abu Thalib, gubernur Syam tampil sebagai penguasa Islam yang kuat. Masa kekuasaannya merupakan awal kedaulatan Bani Umayah. Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb adalah pembangun dinasti Umayah dan sekaligus menjadi khalifah pertama. Ia memindahkan ibukota kekuasaan Islam dari Kufah ke Damaskus.
Dinasti Umawiyah yang ibukota pemerintahanya di Damaskus, berlangsung selama 91 tahun.
Memasuki masa kekuasaan Muawiyah yang menjadi awal kekuasaan Bani Umayah ini, sistem pemerintahan Islam yang dulunya bersifat demokrasi berubah menjadi monarki heredetis (kerajaan turun temurun).




[1] Choirul Rofiq, Sejarah Peradaban Islam, (Ponorogo: STAIN PO Press, 2009) Hal  115
[3] Choirul Rofiq, Sejarah Peradaban Islam, (Ponorogo: STAIN PO Press, 2009) Hal  125-128

Bunga Sakura Mekar Lebih Cepat di Tokyo

Sabtu, 30 Maret 2013
Posted by Unknown

Menurut Badan Meteorologi Jepang, bunga sakura telah mekar dengan indah di seluruh penjuru Tokyo pada 22 Maret lalu.
Selain itu, mekarnya bunga sakura terjadi 12 hari lebih cepat dari biasanya, kedua kali dalam catatan sejarah sejak 1953.
Di wilayah timur Jepang, temperatur lebih tinggi 2,6 derajat Celsius daripada biasanya. Di pertengahan Maret, temperatur lebih tinggi 2,9 derajat.
Bunga sakura mulai mekar pada 16 Maret di Tokyo, terawal sepanjang sejarah.
Selain itu, festival bunga sakura di Chidorigafuchi, dekat Istana Kerajaan, Tokyo, digelar pada 22 Maret, lebih awal seminggu dari biasanya. Tempat ini merupakan tempat favorit para warga untuk menikmati keindahan bunga sakura.
Festival akan berlangsung hingga tanggal 7 April mendatang. Lampu penerangan akan hidup hingga pukul 2200 waktu setempat, dan perahu dapat disewa hingga pukul 2000, lebih lama dari biasanya.

Welcome to My Blog

Popular Post

Blogger templates

Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © Informant -Yusuf Kanra- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -