Archive for Maret 2013
Pengarang Naruto, Masashi Kishimoto mengumumkan bahwa seri Naruto akan segera mencapai klimaks artinya sudah mendekati ending. Kishimoto juga mengumumkan bahwa dia akan membuat cerita nya semakin menarik dan juga sudah memutuskan bagaimana akhir manga nya yang telah dimulai sejak tahun 1999 ini, yang ia lakukan hanya perlu memperbaiki ending.
SUMBER: http://infoanimanga.blogspot.com/2012/06/masashi-kishimoto-mengumumkan-klimaks.html
Maqamat dan Ahwal
A. Maqamat
Seorang sufi tidak begitu saja dapat dekat
dengan tuhan sebelum ia menempuh latihan-lathian tertentu. Ia harus mwnwmpuh
beberapa displin keronahian dalam berbagai pengalaman yang dirasakan dan
diperoleh melalui usaha-usaha tertentu yang yang disebut maqam(stasiun).
Maqamat (bentuk jamak dai maqam) mengandung
arti tngkatan-tingkatan hidup sufi yang telah dapat dicapai oleh para sufi
untuk dekat pada Tuhan. Menurut Sarraj, Maqamat tinkatan-tingkatan seorang
hamba di hadapan Tuhan dalam hal ibadah, mujahadah dan riadhah(memerangi dan
menguasai hawa nafsu). Seseorang baru dapat pindah dan naik dari satu tingkat
ketingkat yang lebih tinggi setelah melalui latihan dan melakukan kebiasaan
yang lebih baik.
Jumlah maqam yang harus ditempuh oleh para
sufi berbeda-beda sesuai dengan pengalaman pribadi yang bersangkutan. Abu Nasr
Al-Sarraj menyebut tujuh maqam yaitu taubat, wara', zuhud, kefakiran,
kesabaran, tawakal, dan keridaan. Al-Kalabdzi menyebut beberapa maqam yaitu
taubat, zuhud, sabar , Al faqr, tawadlu, taqwa, tawakal, ridlo, mahabbah, dan
ma'rifat. Menurut Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya' Ulum Al-Din mengatakan
maqamat itu ada delapan yaiyu Al-taubah, Al-shabr, Al-zuhud, Al-tawakal,
Al-mahabbah, Al-ma'rifat, dan Al-ridla.
Menurut al-Qusyairi (w. 465 H) maqam adalah tahapan adab (etika) seorang hamba dalam rangka
wushul (sampai) kepadaNya dengan berbagai upaya, diwujudkan dengan suatu tujuan
pencarian dan ukuran tugas. Adapun pengertian maqam dalam pandangan al-Sarraj (w. 378 H) yaitu
kedudukan atau tingkatan seorang hamba dihadapan Allah yang diperoleh melalui
serangkaian pengabdian (ibadah), kesungguhan melawan hawa nafsu dan
penyakit-penyakit hati (mujahadah), latihan-latihan spiritual (riyadhah) dan
mengarahkan segenap jiwa raga semata-mata kepada Allah.
- Taubah
At-Taubah
berasal dari bahasa arab taba, yatubu, taubatan yang artinya
kembali. Sedangkan taubah yang di maksud oleh kalangan sufi ialah memohon ampun
atas segala dosa dan kesalahan disertai janji yang sungguh-sungguh tidak akn
mengulangi perbuatan dosa tersebut, yang disertai dengan melakukan amal
kebajikan. Ibnu Hamdan mengatakan bahwa taubah adalah kembali dari sesuatu yang
diketahui tercela kepada sesuatu yang terpuji. Al-Ghazali memberikan definisi
taubat adalah kembali dari kemaksiatan menuju ketaatan kembali dari jalan jauh kejalan
yang lebih dekat. Tobat bukan hanya sebagai penghapis dosa, tetapi juga sarana
untuk mendekatkan diri kepada Allah. Tobat yabg dimaksud sufi adalah tobat yang
sebenar-benarnya, tobat yang tidak akan kembali berbuat dosa.
Di dalam al-Qur'an banyak dijumpai ayat-ayat
yang menganjurkan manusia agar bertaubat di antaranya:
Artinya
: "Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang
beriman supaya kamu beruntung". (Q.S. An-Nuur : 31)
- Zuhud
Secara harfiyah zuhud berarti tidak ingin
kepada sesuatu yang bersifat keduniawian. Sedangkan menurut Harun Nasution
zuhud artinya keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Selanjutnya
Al-Qusyairi mengatakan bahwa diantara para ulama berbeda pendapat dalam
mengartikan zuhud. Sebagian ada yang mengatakan bahwa zuhud adalah orang yang
zuhud di dalam masalah yang haram karena yang halal adalah sesuatu yang mubah
dalam pandangan Allah yaitu orang yang diberikan nikmat berupa harta yang halal,
kemudian ia bersyukur dan meninggslksn dunia itu dengan kesadarnya sendiri.
Sebagian ada pula yang mengatakan bahwa zuhud adalah zuhud dalam yang haram
sebagai suatu kewajiban. Bagi seorang sufi, zuhud merupakan stasiun penting
yang harus dilalui. Tanpa jalan zuhud, calon sufi tidak akan mencapai derajat
sufi. Ahmad bin Hanbal membagi zuhud menjadi tiga macam: Pertama zuhud
awam dengan meninggalkan yang haram. Kedua zuhud orang khawas dengan
meninggalkan yang halal dan ketiga zuhud orang yang arif dengan
meninggalkan apa saja yang akan
menghalanginya dari Allah.
Menurut Syaikh Syihabuddin ada tiga jenis
kezuhudan yaitu : pertama,
Kezuhudan orang-orang awam dalam peringkat pertama. Kedua, kezuhudan orang-orang
khusus (kezuhudan dalam kezuhudan). Hal ini berarti berubahnya kegembiraan yang
merupakan hasil daripada zuhud hanyalah kegembiraan akhirat, sehingga nafsunya
benar-benar hanya dipenuhi dengan akhirat. Ketiga,
Kezuhudan orang-orang khusus dikalangan kaum khusus. Dalam peringkat ketiga ini
adalah kezuhudan bersama Allah. Hal ini hanyalah dikhususkan bagi para Nabi dan
manusia suci. Mereka telah merasa fana’ sehingga kehendaknya adalah kehendak
Allah. Sedangkan menurut al-Sarraj ada tiga kelompok zuhud :
1. Kelompok
pemula (mubtadiin), mereka adalah orang-orang yang kosong tangannya
dari harta milik, dan juga kosong kalbunya.
2. Kelompok
para ahli hakikat tentang zuhud (mutahaqqiqun fi al-zuhd). Kelompok
ini dinyatakan sebagai orang-orang yang meninggalkan kesenangan-kesenangan jiwa
dari apa-apa yang ada di dunia ini, baik itu berupa pujian dan penghormatan
dari manusia.
3. Kelompok
yang mengetahui dan meyakini bahwa apapun yang ada di dunia ini adalah halal
bagi mereka, namun yakin bahwa harta milik tidak membuat mereka jauh dari Allah
dan tidak mengurangi sedikitpun kedudukan mereka, semuanya semata-mata karena
Allah.
Orang yang zuhud lebih mengutamakan atau
mengejar kebahagiaan hidup di akhirat yang kekal dan abadi, daripada mengejar
kehidupan di dunia yang fana' dan sepintas selalu. Hal ini dapat dipahami dari
isyarat ayat yang berbunyi;
Artinya:
"Katakanlah: "Kesenangan di dunia Ini Hanya sebentar dan akhirat
itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya
sedikitpun." (Q.S. Al-Nisa' : 77)
- Wara'
Wara' secara harfiyah artinya saleh,
menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Dalam pengertian sufi wara' adalah
meninggalkan yang di dalamnya terdapat keragu-raguan atau subhad. Defenisi
wara' menurut Abu zakaria al-Anshari adalah menjauhkan diri dari subhad dan
dari yang tidak membawa kebaikan dalam kehidupan agama, walaupun halal. Imam
al-Khusyairi mengutip perkataan Ibrahim bin Adam yang mengatkan bahwa wara'
adalah meninggalkan yang subhad dan segala yang tidak jadi kepentingannya,
yaitu segala yang berlebih-lebihan.
Dilihat dari segi jenisnya wara' terbagi dua:
wara' anggota lahir dan anggota batin. Wara' lahir adalah tidak menggerakkan
anggota badan melainkan kepada yang diridhai Allah. Sedangkan wara' batin
adalah tidak memasukkan kepada ingatan dan kenangan kecuali kepada Allah.
Al-Saraj membagi wara' menjadi tiga tingkatan: Memelihara diri dari yang
subhad, memelihara diri dari yang halal yang akan membawa kepada maksiyat dan
memelihara diri dari sesuatu yang halal yang akan membawa lupa kepada Allah.
- Fakr
Secara harfiyah fakr biasanya diartikan
seperti orang yang berhajad, butuh atau orang yang miskin. Sedangkan dalam
pandangan sufi fakr adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada
diri kita. Menurut Ibnu Qudamah, fakr adalah orang yang berhajad kepada
sesuatu. Karena itu selain Allah adalah fakr karena ia selalu behajad kepada
Allah dan selalu memerlukan kemurahan-Nya. Menurut Imam al-Ghazali sikap fakr
yang senanti asa berhajad kepada Allah adalah sebagian dari iman dan buah dari
ma'rifat yang mendalam sehingga dalam pandangan si fakr merasakan bahwa ia
selalu berhajad atau berkehendak kepada Allah.
Dzu al-Nun mengatakan:
"Alamat seorang hamba akan
mendapat murka Tuhan adalah takut fakir".
Ada tiga hal yang diperhatikan orng sufi,
yaitu pertama benda yang diberikannya apakah halal, haram atau subhad. Kedua
si pemberi tidak mempunyai tujuan untuk keuntungan atau kepentingan
sendiri. Ketiga tujuan pemberian
hanyalah mengharap pahala dari Allah.
- Sabar
Secara harfiyah sabar berarti tabah hati.
Menurut Zun al-Nun al-Misyri sabar artinya menjauhkan diri dari hal-hal yang
bertentangan dengan kehendak Allah, tetapi tenang ketika mendapatkan cobaan,
dan menampakkan sikap cukup walaupun sebenarnya berada dalam kefakiran dalam
bidang ekonomi. Ibnu Atha mengatakan sabar artinya tetap tabah dalam menghadapi
cobaan dengan sikap yang baik. Ibnu Usman al-Hairi mengatakan sabar adalah
orang yang mampu memasung dirinya atas segala sesuatu yang kurang menyenangkan.
Artinya
: "Maka Bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan
hati dari rasul-rasul Telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan
(azab) bagi mereka. pada hari mereka melihat azab yang diancamkan kepada mereka
(merasa) seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat pada siang hari.
(Inilah) suatu pelajaran yang cukup, Maka tidak dibinasakan melainkan kaum yang
fasik." (Q.S. Al-ahqaf : 35)
Al-Ghazali menyebutkan sabar sebagai kondisi
jiwa dalam mengendalikan nafsu yang terjadi karena dorongan agama. Ia membagi
sabar kepada tiga tingkatan yaitu;
a.
Sabar tertinggi, yaitu sifat yang mampu menghadapi
semua dorongan nafsu, sehingga nafsu benar-benar dapat ditundukkan.
b.
Sabar orang-orang yang sedang dalam perjuangan. Pada
tahap ini mereka terkadang dapat menguasai hawa nafsu, tetapi terkadang mereka
dikuasai hawa nafsu. Sehingga campur aduk antara yang baik dan yang buruk,
c.
Tingkatan terendah yaitu sabar karena kuatnya hawa
nafsu dan kalahnya dorongan agama.
- Tawakal
Tawakal berarti keteguhan hati dalam
menyerahkan urusan kepada orang lain. Tawakal sebagai sikap mental seorang sufi
merupakan hasil dari keyakinannya yang bulat sepenuhnya kepada allah. Tawakal
terdiri dari tiga tingkatan. Pertama, tingkat bidayah(pemula),
yakni tawakalpada tingkat hati yang slalu merasa tentram terhadap apa yang
sudah dijanjikan Allah. Kedua, tingkat mutawasitthah
(pertengahan), yakni tawakal pada tingkat hati yang merasa cukup menyerahkan
segala urusan kepada Allah karena yakin bahwa Allah mengetahui keadaan dirinya.
Ketiga tingkat nihayah
(terakhir), yakni tawakal pada tingkat terjadi penyerahan diri seseorang
pada ridha atau merasa lapang menerima segala ketentuan Allah.
Tawakkal dalam tasawuf dijadikan washilah
untuk memalingkan dan menyucikan hati manusia agar tidak terikat dan tidak
ingin dan memikirkan keduniaan serta apa saja selain Allah. Pada dasarnya makna
atau konsep tawakkal dalam dunia tasawuf berbeda dengan konsep agama.
Tawakkal menurut para sufi bersifat fatalis, menggantungkan segala sesuatu pada
takdir dan kehendak Allah. Syekh Abdul Qadir Jailany menyebut dalam kitabnya
bahwa semua yang menjadi ketentuan Tuhan sempurna adanya, sungguh tidak
berakhlak seorang salik jika ia meminta lebih dari yang telah ditentukan Tuhan.
- Ridha
Ridha adalah suatu sikap mental yang mesti
dimiliki dan dijalani oleh seorang sufi, karena dengan sikap mental,
kebersihan, kesempurnaan dan ketinggian rohani dapat tercapai. Menurut
al-Qushairi ridha adalah tidak menentang apa yang ditetapkan oleh Allah. Rabiah
al-Adawiyah mengatakan bahwa ridha adalah ketika mendapat bencana, perasaan
cinta kepada Allah sama seperti saat mendapat nikmat.
Ridha menurut al-Sarraj merupakan sesuatu
yang agung dan istimewa, maksudnya bahwa siapa yang mendapat kehormatan dengan
ridha berarti ia telah disambut dengan sambutan paling sempurna dan dihormati
dengan penghormatan tertinggi. Dalam kitabnya al-Luma’ al-sarraj lebih lanjut
mengemukakan bahwa maqam ridha adalah maqam terakhir dari seluruh rangkaian
maqamat. Imam al-Gazali mengatakan bahwa hakikat ridha adalah tatkala hati
senantiasa dalam keadaan sibuk mengingatnya. Berdasarkan pernyataan tersebut
dapat dipahami bahwa seluruh aktivitas kehidupan manusia hendaknya selalu
berada dalam kerangka mencari keridhaan Allah.
B. Ahwal
Ahwal bentuk jamak dari hal. Hal adalah sikap
rohaniyah (mental) seorang sufi dalam perjalanan tasawufnya. Perbedaan antara
maqam dan hal adalah kalau maqam merupakan sikap hidup yang harus diusahakan
dengan kesungguhan dan latihan, sedangkan ahwal merupakan anugerah Allah bagi
yang dikendaki-Nya.
Ibn Arabi menyebut hal sebagai setiap sifat
yang dimiliki seorang salik pada suatu waktu dan tidak pada waktu yang lain,
seperti kemabukan dan fana’. Eksistensinya bergantung pada sebuah kondisi. Ia
akan sirna manakala kondisi tersebut tidak lagi ada. Hal tidak dapat dilihat
dilihat tetapi dapat dipahami dan dirasakan oleh orang yang mengalaminya dan
karenanya sulit dilukiskan dengan ungkapan kata.
Telah disebutkan diatas bahwa penjelasan
mengenai perbedaan maqamat dan hal membingungkan karena definisi dari
masing-masing tokoh tasawuf berbeda tetapi umumnya yang dipakai sebagai
berikut: Maqamat adalah perjalanan spiritual yang diperjuangkan oleh para sufi
untuk memperolehnya. Perjuangan ini pada hakikatnya merupakan perjuangan
spiritual yang panjang dan melelahkan untuk melawan hawa nafsu termasuk ego
manusia yang dipandang sebagai berhala besar dan merupakan kendala untuk menuju
Tuhan. Didalam kenyataannya para Salik memang untuk berpindah dari satu maqam
ke maqam lain memerlukan waktu berbilang tahun, sedangkan “ahwal” sering
diperoleh secara spontan sebagai hadiah dari Tuhan. Lebih lanjut kaum sufi
mengatakan bahwa hal adalah anugerah dan maqam adalah perolehan (kasb). Tidak
ada maqam yang tidak dimasuki hal dan tidak ada hal yang terpisah dari maqam.
Beberapa ulama mengatakan bahwa hal adalah
sesuatu yang tidak diam dan tidak mengikat (dinamis). Al-Gazali dalam
memberi pandangan yang menyatakan bahwa apabila seseorang telah mantap dan
tetap dalam suatu maqam, ia akan memperoleh suatu perasaan tertentu dan itulah
hal. Mengenai hal ini ia juga memberi contoh tentang warna kuning yang dapat
dibagi menjadi dua bagian, ada warna kuning yang tetap seperti warna kuning
pada emas dan warna kuning yang dapat berubah seperti pada sakit kuning.
Seperti itulah kondisi atau hal seseorang. Kondisi atau sifat yang tetap
dinamakan maqam sedangkan yang sifatnya berubah dinamakan hal. Menurut
Syihabuddin Suhrawardi seseorang tidak mungkin naik ke maqam yang lebih tinggi
sebelum memperbaiki maqam sebelumnya. Namun, sebelum beranjak naik, dari maqam
yang lebih tinggi turunlah hal yang dengan itu maqamnya menjadi kenyataan.
Adapun Ahwal itu banyak macamnya, diantaranya
sebagai berikut:
1.
Khauf
Khauf artinya merasakan takut akan terjadinya
sesuatu yang tidak diinginkan pada masa yang akan datang. Menurut Imam
Al-Qusairi: ''Khauf akan terjadi pada suatu masa yang akan datang, baik karna
tidak disenangi atau karena khawatir akan luput dari yang dicintai". Orang
yang takut kepada Allah akan takut kepada yang lain termasuk takut kepada
dirinya. Takut kepada Allah berarti takut kepada kebesaran dan kekuasaan-Nya,
sedangkan takut pada dirinya berarti takut karena merasa takut terhadap sesuatu
yang akan menimpa dirinya. Abu Al-Kasim Al-Hakim mengatakan, seseorang yang
takut kepada sesuatu selain Allah akan lari dari sesuatu yang ditakutinya, dan
seseorang yang takut kepada Allah, justru akan mendekati-Nya dan akan semakin
bertambah taat dan patuh kepada perintah-Nya.
Al-Ghazali membagi khauf kepada dua macam:
khauf karena kehilangan nikmat dan khauf karena siksaan. Khauf karna kehilangan
nikmat akan mendorong seseorang selalu akan memelihara nikmat dan
menempatkannya secara proposional. Sedangkan khauf karna siksa akan mendorong
seseorang untuk selalu melaksanakan perintah Allah dan menjauhi apa yang
dilarang-Nya.
Ibn Qudamah mengemukakan macam-macam bentuk
khauf sebagai sikap mental seorang sufi. Di antaranya ada yang takut menghadapi
maut; dalam maut yang membuat seseorang terlambat tobat.. Ada yang takut kalau
timbul kecenderungan maninggalkan ketekunan dan goyah dalam pendirian agama.
Ada yang takut kalau terjadi su'al-khatimah pada akhir hayatnya. Ada lagi yang
takut kalau terhalang dari Allah karena mengikuti hawa nafsu.
2.
Tawadu
Tawadhu dapat diartikan merendahkan
diri dan berlaku hormat kepada siapa saja. Adapun tawadhu yang menjadi sikap
mental sufi adalah selalu merendahkan diri, baik kepada manusia maupun kepada
Allah, karna orang sombong selalu menolak kebenaran dan menganggap remeh orang
lain. Tawadu kepada Allah sebagaimana dikatakan oleh Ruwayim, berarti
menghinakan diri terhadap Allah Yang Maha Mengetahui atas segala hal yang
abstrak (gaib). Sahal mengemukakan, tawadu adalah sesorang bersikap rida
terhadap Allah, mnerima kebenaran dari Yang Maha benar dan hanya karena-Nya.
3.
Taqwa
Takwa berasal dari kata wiqayah, berarti tetpelihara
dari kejahatan, karena ada keinginannya yang kuat untuk meninggalkan kejahatan.
Al-Ghazali mengatakan, takwa merupakan ketundukan dan ketaatan (manusia) kepada
perintah Allah dan menjauhi segala yang dilarang-Nya. Ibnu Athaillah membagi
taqwa menjadi dua macam: Takwa lahir dan takwa batin. Takwa lahir dilakukan
melalui pemeliharaan terhadap hukum-hukum Allah yang telah ditetapkan-Nya,
sedangkan takwa batin dilakukan dengan menanamkan niat suci dan keikhlasan
murni dalam beramal.
4.
Ikhlas
Secara umum ikhlas berarti hilangnya rasa
pamrih atas segala sesuatu yang diperbuat. Menurut kaum sufi, seperti
dikemukakan Abu Zakaria Al-Anshari, orang yang ikhlas adalah orang yang tidak
mengharapkan apa-apa lagi. Dzun Al- Nun
Al-Misri mengatakan ada tiga cirri orang yang ikhlas, yaitu seimbang sikap
dalam menerima pujian dan celaan orang, lupa melihat perbuatan dirinya, dan
lupa menuntun balasan di akherat kelak. Sejalan dengan pendapat Dzun Al-Nun,
Abu Abbas bin Atha menatakan bahwa ikhlas adalah perbuatan-perbuatan yang
bersih dari maksud-maksud tertentu yang diinginkan oleh pelaku dari perbuatan
tersebut.
5.
Syukur
Menurut Abu Ali Daqaq, syukur adalah
pengakuan terhadap nikmat yang telah diberikan Allah kepadanya dengan
kedudukannya. Selanjutnya ia membagi syukur beberapa bentuk: syukur dengan
lisan berupa pengakuan terhadap nikmat Allah, syukur dengan tubuh berupa
penggunaan nikmat itu dalam menaati Allah, dan syukur dengan hati berupa
pengakuan serta membesarkan pemberi nikmat (Allah). Dalam hal ini Al-Ghazali
mengatakan bahwa syukur merupakan sikap mental tertinggi dari segala sikap
mental, karena syukur bukan alat tetapi tujuan. Jadi, syukur merupakan muara
dari segala sikap mental yang dimiliki kaum sufi.
Dalam pandangan tasawuf, nikmat hakiki adalah
kebahagiaan di akhirat yang abadi, sedangkan nikmat dunia itu hanya sementara
belaka. Hal ini sesuai firman Allah dalam surat Ibrahim ayat 7
Artinya
: "Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya
jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu
mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (Q.S.
Ibrahim : 7)
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam pola kehdupan umat islam sejarah tdak hanya digunakan sebagai pedoman
dan cerminan, namun juga sebagai instrumen untuk memahami secara lebih mendalam
tentang makna yang tersirat dalam islam. Sejarah adalah kisah nyata dari masa
lalu yang dijadikan acuan bagi masa kn dan masa mendatang demi terealisasinya
kehidupan yang lebih bak.
Untuk itu tdak ada salahnya mempelajari sekilas sejarah yang terjadi di masa
lalu terkait dengan sejarah tentang agama islam. Hal itu dilakukan agar
mengetahui bagaimana keadaan islam sesungguhnya. Lebih jauh lagi agar dapat
mengambil hikmah dan teladan yang terkandung dalam nilai-nilai sejarah islam.
Dalam makalah ini, akan mengulas sedikit
tentang peradaban islam pada masa Dinasti Umawiyah I, yang bahasannya meliputi:
Proses Berdirinya Dinasti Umawiyah, para
khalifah, sstem pemerintahan, dan perkembangan peradaban.
B. Rumusan Masalah
1. Proses Berdirinya Dinasti Umawiyah
2. Para Khalifah Dinasti Umawiyah l
3. Sistem Pemerintahan.
4. Perkembangan Peradaban
BAB II
PEMBAHASAN
A. Proses Berdirinya Dinasti Umawiyah
Sepeninggal Ali bin Abu Thalib, gubernur Syam tampil sebagai
penguasa Islam yang kuat. Masa kekuasaannya merupakan awal kedaulatan Bani
Umayah. Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb adalah pembangun dinasti Umayah dan
sekaligus menjadi khalifah pertama. Ia memindahkan ibukota kekuasaan Islam dari
Kufah ke Damaskus. (Mufrodi, 1997: 69)
Keberhasilan Muawiyah dalam meraih jabatan
khalifah dan membangun pemerintahan Bani Umayah bukan hanya akibat dari
kemenangan diplomasi di Shiffin dan terbunuhnya Khalifah Ali saja, melainkan
merupakan hasil akhir dari peristiwa-peristiwa politik yang dihadapinya dan
karir politiknya yang cukup cemerlang.
Pada awal pemerintahan Ali bin Abu Thalib, Muawiyah diminta untuk
meletakkan jabatan, tetapi ia menolaknya. Bahkan ia tidak mengakui kekhalifahan
Ali dan memanfaatkan peristiwa berdarah yang menimpa Usman bin Affan untuk
menjatuhkan legalitas kekuasaan Ali dengan membangkitkan kemarahan rakyat dan
menuduh Ali sebagai orang yang mendalangi pembunuhan Usman, jika Ali tidak
dapat menemukan dan menghukum pembunuh yang sesungguhnya. (Mufrodi, 1997: 65)
Desakan Muawiyah tersebut mengakibatkan terjadinya pertempuran
sengit antara pihaknya dan pihak Ali sebagai khalifah di kota tua Shiffin yang
berakhir dengan proses tahkim
(arbitrase) pada tahun 37 H. Dalam pertempuran yang memakan waktu berhari-hari
ini, menurut catatan al-Thabari (V/48), sebenarnya pihak Muawiyah sudah
terdesak dan merasa khawatir akan kalah. Pada saat inilah timbul gagasan dari
‘Amr bin al-‘Ash untuk menghentikan perang sementara dengan cara mengangkat
mushaf al-Quran. Gagasan ini disambut baik oleh Muawiyah. Peristiwa ini
kemudian berlanjut pada terjadinya perundingan damai melalui proses tahkim.
Pihak Muawiyah bersama penduduk Syam sepakat menunjuk ‘Amr bin
al-‘Ash sebagai wakil bagi perundingan tersebut. Sedangkan pihak Ali bin Abu
Thalib, atas usulan dari al-Asy’as, Zaid bin Hushain at-Thai, dan Mis’ar bin Fadaki,
diwakili oleh Abu Musa al-Asy’ari.
Setelah kedua belah pihak menyepakati wakilnya masing-masing,
mereka pun menulis surat kesepakatan yang dihadiri oleh para saksi dari kedua
belah pihak. Inti dari kesepakatan yang dibuat pada bulan Shafar tahun 37 H ini
adalah gencatan senjata dan akan bertemu kembali dalam sebuah perundingan pada
bulan Ramadhan di Dumatul Jandal wilayah Adzruh.
Menurut al-Waqidi, pertemuan ini terjadi pada bulan Sya’ban tahun
38 H Sesuai dengan kesepakatan
sebelumnya, pada bulan Ramadhan, kedua belah pihak bertemu lagi di Dumatul
Jandal disertai pasukannya masing-masing sebanyak 400 orang. Dalam pertemuan
ini, ‘Amr bin al-‘Ash dan Abu Musa al-Asy’ari berunding untuk menentukan
khalifah. ‘Amr mengajukan Muawiyah, tetapi ditolak oleh Abu Musa. Kemudian ia
menawarkan anaknya, Abu Musa pun menolaknya. Lalu Abu Musa mengajukan Abdullah
bin Umar, tetapi ‘Amr menolaknya. Akhirnya Abu Musa mengusulkan agar Muawiyah
dan Ali dilepas jabatannya terlebih dahulu dan penyelesaian akan diserahkan
kepada musyawarah umat secara umum. ‘Amr bin al-‘Ash menyetujuinya.
Setelah bersepakat, keduanya menghadap kepada dua pasukan ini. Lalu
‘Amr meminta Abu Musa untuk menyampaikan kesepakatan itu lebih dulu dengan
alasan ia lebih senior. Setelah Abu Musa menyampaikan isi kesepakatan itu, ‘Amr
bin al-‘Ash tampil dan menyampaikan pidatonya. Ia mengatakan, “Sesungguhnya
masalah ini, sebagaimana kalian dengar darinya tadi, dan ia telah melepas
jabatan sahabatnya. Aku pun melepas jabatan sahabatnya sebagaimana ia melakukannya.
Dan sekarang, aku menetapkan sahabatku, Muawiyah, karena dia termasuk walinya
Usman bin Affan dan yang menuntut hukuman bagi pembunuh Usman, serta ia
termasuk orang yang lebih berhak menduduki jabatan ini”. Mendengar pidato ini,
Abu Musa pun marah. Lalu keduanya saling mencaci maki. Syuraih bin Hani, dari
pihak Ali, mengangkat cemetinya dan mencambuk ‘Amr bin al-‘Ash. Putra ‘Amr
membalasnya. Kemudian orang-orang berdiri dan memisahkannya, lalu mereka pun
berpencar dengan membawa keputusan yang merugikan sebelah pihak ini.
Seusai
proses tahkim, lama kelamaan pasukan Ali terus berkurang dan melemah. Kelompok
Khawarij yang berjumlah sekitar 12.000 orang turut serta merepotkan Ali.
Wilayah kekuasaannya pun terus digerogoti oleh pasukan Muawiyah. Sementara
kekuatan Muawiyah semakin kokoh. Dia mendapat dukungan yang kuat dari rakyat
Syam dan keluarga Bani Umayah.
Kelompok Khawarij, walaupun Ali sudah beberapa kali mencoba untuk
membujuk mereka agar bertobat dan kembali kepada barisan Ali, terus menerus
menyimpan kekesalannya. Hingga akhirnya, mereka bersepakat untuk membunuh tiga
orang yang langsung terlibat dalam proses tahkim; Ali, Muawiyah, dan ‘Amr bin
al-‘Ash. Tetapi usaha pembunuhan itu hanya berhasil membunuh Ali. Sedangkan
Muawiyah dan ‘Amr bin al-‘Ash selamat. Pada tanggal 17 Ramadhan 40 H (660 M),
Ali ditikam oleh seorang anggota Khawarij yang bernama Binu Muljam dan
meninggal dunia pada tanggal 20 Ramadhan 40 H.
Pada tahun ini, warga Kufah membaiat al-Hasan untuk menggantikan
posisi ayahnya. Al-Hasan pun menerima baiat dari mereka. Tetapi tidak lama
kemudian, dengan kegamangan hati mereka, mereka pun tidak sanggup menghadapi
pasukan Muawiyah. Akhirnya al-Hasan mengajukan posisinya kepada Muawiyah
melalui perjanjian damai. Perjanjian ini dapat mempersatukan umat Islam kembali
dalam satu kepemimpinan politik di bawah Muawiyah bin Abu Sufyan. Di sisi lain,
perjanjian itu juga menyebabkan Muawiyah menjadi penguasa absolut dalam Islam.
Tahun 41 H (661 M), tahun persatuan itu, dikenal dalam sejarah sebagai tahun
jama’ah (‘am al-jama’ah). (Yatim,
1993: 40)[1]
B. Para Khalifah Dinasti Umawiyah l
Dinasti Umawiyah yang ibukota pemerintahanya di Damaskus,
berlangsung selama 91 tahun. Masa permulaan di tandai dengan usaha-usaha
Mu’awyah meletakkan dasar-dasar pemerintahan dan orientasi kekuasaan. Kejayaan
Sani Umayah dimulai pada masa pemerintahan ‘Abd al-Malik. Dia danggap sebagai
pendri dinasti Umayah kedua karena mampu mencegah disintegrasi yang telah
terjadi sejak masa Marwan. Kejayaan Bani Umayyah berakhir pada masa
pemerintahan ‘Umar ibn ‘Abd al-Aziz (‘Umar II). Pada tahun 750 terjadi
pertempuran antara pasukan Abbasiyah yang dipmpn oleh Abu Muslim Al-Khurasani
dan pasukan Umawiyyah terjadi di Irak. Tidak lama kemudian Damaskus jatuh ke
tangan kekuasaan Bani Abbas.
Adapun
urutan-urutan khalifah Umayah I adalah sebagai berikut.[2]
1.
Muawiyah
I bin Abi Sufyan (41-60H/661-680M)
2.
Yazid
bin Muawiyah (60-64H/680-683M)
3.
Muawiyah
II bin Yazid (64H/683-683M)
4.
Marwan
bin Hakam (64H/684M)
5.
Abdul
Malik bin Marwan (65-86H/685-705M)
6.
Al-Walid
bin Abdul Malik (86-96H/705-715M)
7.
Sulaiman
bin Abdul Malik (96-99H/715-717M)
8.
Umar
bin Abdul Aziz (99-101H/717-720M)
9.
Yazid
bin Abdul Malik (101-105H/720-724M)
10.
Hisyam
bin Abdul Malik (105-125H/724-743M)
11.
Al-Walid
II bin Yazid (125-126H/743-744M)
12.
Ibrahim
bin al-Walid(126-127H/744M)
13.
Marwan II bin Muhammad (127-132H/744-750M)
C.
Sistem
Pemerintahan.
Memasuki masa kekuasaan Muawiyah yang menjadi awal kekuasaan Bani
Umayah ini, sistem pemerintahan Islam yang dulunya bersifat demokrasi berubah
menjadi monarki heredetis (kerajaan
turun temurun). Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika
Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya,
Yazid. (Binu Taimiyah, 1951: 42)
Perintah ini tentu saja memberikan
sinyal awal bahwa kesetiaan terhadap Yazid merupakan bentuk pengokohan terhadap
sistem pemerintahan yang turun temurun telah coba dibangun oleh Muawiyah. Tidak
ada lagi suksesi kepemimpinan berdasarkan asas musyawarah (syuro) dalam
menentukan seorang pemimpin baru. Muawiyah telah merubah model kekuasaan dengan
model kerajaan yang membenarkan regenerasi kekuasaan dengan cara memberikan
kepada putera mahkota. Orang-orang yang berada di luar garis keturunan
Muawiyah, secara substansial tidak memiliki ruang dan kesempatan yang sama
untuk memimpin pemerintah umat Islam, karena sistem dinasti hanya membenarkan
satu kebenaran bahwa suksesi hanya bisa diberikan kepada keturunan dalam
dinasti tersebut. (Suhaidi, deeMuhammad.blogspot.com)
Tradisi bentuk khilafah konfederasi yang
dicanangkan oleh Rasulullah pada tahun 622 M (awal periode Madinah), terus
berlanjut hingga masa Dinasti Umayah sejak tahun 661 M. Bedanya, Rasulullah
menerapkan bentuk konfederasi kabilah, sedangkan Dinasti Umayah menerapkan
konfederasi propinsi. Untuk menangani banyaknya propinsi yang ada, maka
khalifah ketika itu, Muawiyah bin Abu Sofyan, mencoba menggabung beberapa
wilayah menjadi satu propinsi. Wilayah-wilayah ini terus berkembang sejalan dengan keberhasilan
program futuhat (ekspansi). Setiap
gubernur memilih amir atas jajahan yang berada dalam kekuasaannya, dan para
amir tersebut bertanggung jawab langsung kepada khalifah. Konsekuensinya, para
amir berfungsi sebagai khalifah di daerah. Nilai politis kebijakan ini adalah
upaya sentralisasi wilayah kekuasaan, mengingat potensi daerah-daerah tersebut
dalam menopang jalannya pemerintahan, baik dari sudut pandang ekonomi, maupun
keamanan dan pertahanan nasional. Pada masa Hisyam bin Abdul Malik, gubernur mempunyai
wewenang penuh dalam hal administrasi politik dan militer dalam propinsinya,
namun penghasilan daerah ditangani oleh pejabat tertentu (sahib al-kharaj) yang mempunyai tanggung jawab langsung pada
khalifah.
D.
Perkembangan
Peradaban
Bidang
arsitektur (seni bangunan) pada zaman Umawiyyah bertumpu pada bangunan spil
berupa kota-kota dan bangunan agama berupa masjid. Damaskus yang pada masa sebelum slam merupakan ibukota kerajaan
Romawi timur di Syam adalah kota lama yang di bangun kembali pada masa
Umawiyyah dan dijadikan ibukota dnast ini. Pada masa al-Walid dibangun masjid
agung yang terkenal dengan nama masjid Damaskus atas kreasi arsitektur Abu
Ubaidah ibn Jarrah. Pada masa Umawiyah organisasi militer terdiri dari angkatan
darat (al-jund), angkatan laut (al-bahriyah), dan angkatan
kepolisian (as-syurthah).
Bidang
perdagangan pada saat dinasti Umawiyah berhasil menguasai wilayah yang cukup
luas, maka lalu lintas perdagangan mendapat jaminan yang layak. Lalu lintas
darat melalui jalan Sutera ke Tiongkok guna memperlancar perdagangan sutera,
keramik, obat –obatan dan wewangian. Adapun lalu lintas di lautan kea rah
negri-negri belahan timur untuk mencari rempah-rempah, bumbu, anbar, katsuri,
permata, logam mulia, gading dan bulu-buluan. [3]
BAB III
KESIMPULAN
Sepeninggal Ali bin Abu Thalib, gubernur Syam tampil sebagai
penguasa Islam yang kuat. Masa kekuasaannya merupakan awal kedaulatan Bani
Umayah. Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb adalah pembangun dinasti Umayah dan
sekaligus menjadi khalifah pertama. Ia memindahkan ibukota kekuasaan Islam dari
Kufah ke Damaskus.
Dinasti Umawiyah yang ibukota pemerintahanya di Damaskus,
berlangsung selama 91 tahun.
Memasuki masa kekuasaan Muawiyah
yang menjadi awal kekuasaan Bani Umayah ini, sistem pemerintahan Islam yang
dulunya bersifat demokrasi berubah menjadi monarki
heredetis (kerajaan turun temurun).
Menurut Badan Meteorologi Jepang, bunga sakura telah mekar dengan indah di seluruh penjuru Tokyo pada 22 Maret lalu.
Selain itu, mekarnya bunga sakura terjadi 12 hari lebih cepat dari biasanya, kedua kali dalam catatan sejarah sejak 1953.
Di wilayah timur Jepang, temperatur lebih tinggi 2,6 derajat Celsius daripada biasanya. Di pertengahan Maret, temperatur lebih tinggi 2,9 derajat.
Bunga sakura mulai mekar pada 16 Maret di Tokyo, terawal sepanjang sejarah.
Selain itu, festival bunga sakura di Chidorigafuchi, dekat Istana Kerajaan, Tokyo, digelar pada 22 Maret, lebih awal seminggu dari biasanya. Tempat ini merupakan tempat favorit para warga untuk menikmati keindahan bunga sakura.
Festival akan berlangsung hingga tanggal 7 April mendatang. Lampu penerangan akan hidup hingga pukul 2200 waktu setempat, dan perahu dapat disewa hingga pukul 2000, lebih lama dari biasanya.
sumber: http://www.kaorinusantara.web.id/newsline/2013/03/24/bunga-sakura-mekar-lebih-cepat-di-tokyo/