Archive for 2013


KONSEP ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN EKSISTENSIALISME DAN IMPLIKASINYA TERHADAP DISIPLIN DALAM PENDIDIKAN
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas pada mata kuliah
Filsafat Pendidikan




                                                        
              

Disusun oleh:
M. Yusuf  Rudiantoro              ( 210310209 )

Dosen Pengampu :
Dr. Miftakhul Ulum, M.Ag


JURUSAN TARBIYAH

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PONOROGO
2012
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Dalam dunia pendidikan, begitu kompleks permasalahan yang muncul dan harus dipecahkan dengan maksud agar tercapainya tujuan pendidikan. Karenanya, hal tersebut memunculkan timbulnya filsafat pendidikan dimana di dalamnya terbagi-bagi lagi menjadi berbagai macam aliran. Salah satunya, adalah aliran pendidikan filsafat eksistensialisme yang akan dibahas lebih lanjut dalam bab pembahasan.
Filsafat eksistensialisme memfokuskan pembahasan pada pengalaman-pengalaman individu. Eksistensialisme merupakan filsafat yang memandang segala gejala berpangkal pada eksistensi. Sedangkan eksistensi itu sendiri ialah cara manusia berada di dunia.
B.     Rumusan Masalah
1.         Bagaimana sejarah lahirnya aliran filsafat eksistensialisme?
2.         Bagaiamana konsep dasar  aliran filsafat eksistensilisme?
3.    Bagaimana implikasi filsafat  pendidikan eksistensialisme terhadap disilpin dalam pendidikan?











BAB II
PEMBAHASAN

A.     Sejarah lahirnya filsafat Eksistensialisme
Eksistensialisme berasal dari pemikiran Soren Kier Kegard (Denmark:1813-1855). Inti masalahnya ialah: Apa itu kehidupan manusia? Apa tujuan dari kegiatan manusia? Bagaimana kita menyatakan keberadaban manusia? Pokok pemikirannya dicurahkan kepada pemecahan yang konkret terhadap persoalan arti “berada” mengenai manusia. Tokoh-tokoh lainnya yang kita kenal diantaranya: Martin Buber, Martin Heideger, Jean Paul Satre, Karl Jasper, Gabril Marcell, Paul Tillich.[1]
Tulisan-tulisan Jean Paul Satre (1905-1980), filosof Prancis terkenal, penulis, dan penulis naskah drama, menjadi yang paling bertanggung jawab untuk penyebaran gagasan-gagasan eksistensialisme yang luas. Menurut Satre (Parkay, 1998), setiap individu terlebih dahulu hadir dan kemudian ia harus memutuskan apa yang ada untuk dimaknai. Tugas menentukan makna keberadaan/eksistensi ada pada individu seseorang: tidak ada system keyakinan filosofis yang dirumuskan sebelumnya dapat mengatakan pada seseorang siapa orang itu. Ini sampai masing-masing dari kita memutuskan siapa kita adanya. Selanjutnya menurut Satre, “Eksistensi mendahului esensi… Terlebih dahulu, manusia ada, hadir, muncul di panggung, dan hanya setelah itu menentukan dirinya sendiri.[2]
Menurut Parkay (1998) terdapat dua aliran pemikiran eksistensialisme, yang satu bersifat theistic (bertuhan), yang lainnya atheistic (tidak bertuhan). Kebanyakan dari pandangan-pandangan itu masuk kedalam aliran pemikiran pertama dengan menyebut  diri mereka sendiri sebagai kaum Eksistensialisme Kristen dan menunjukkan bahwa manusia memiliki suatu kerinduan akan suatu wujud sempurna, Tuhan. Melalui kerinduan ini tidak membuktikan keberadaan Tuhan, orang-orang dapat secara bebas memilih untuk tinggal dalam kehidupan mereka seakan-akan ada Tuhan.[3]
 Eksistensialisme atheistic memiliki pemikiran bahwa  pendirian tersebut (theistik) merendahakan kondisi manusia. Dikatakan bahwa kita harus memiliki suatu fantasi agar dapat tinggal dalam kehidupan tanggungjawab moral. Penfirian semacam itu membebaskan manusia dari tanggung jawab untuk berhubungan dengan kebebasan pilihan sempurna yang dimiliki kita semua. Pendirian itu juga menyebabkan mereka menghindari fakta yang ”didapat itu terlepas”, “kita sendirian, dengan tidak ada maaf”, dan “kita terhukum agar bebas”.[4]

B.     konsep dasar  aliran filsafat Eksistensilisme
Eksistensialisme adalah suatu penolakan terhadap  suatu pemikiran abstrak, tidak logis atau tidak ilmiah. Eksistensialisme menolak bentuk kemutlakan rasional. Dengan demikian aliran ini hendak memadukan hidup yang dimiliki dengan pengalaman dan situasi sejarah yang ia alami dan tidak mau terikat oleh hal-hal yang sifatnya abstrak  serta spekulatif, baginya, segala sesuatu dimulai dari pengalaman pribadi, keyakinan yang  tumbuh dari dirinyadan kemampuan serta keluasan jalan untuk mencapai keyakinan hidupnya. Atas dasar pandangannya itu , sikap dikalangan eksistensialisme atau penganut aliran ini sering kali tampak aneh atau lepas dari norma-norma umum. Kebebasan untuk freedom to adalah lebih banyak menjadi ukuran dalam sikap dan perbuatannya.[5]
Menurut eksistensialisme, Realitas adalah kenyataan hidup itu sendiri. Untuk menggambarkan realitas, kita harus menggambarkan apa yang ada dalam diri kita, bukan yang ada diluar kondisi manusia. Eksistensialisme merupakan filsafat yang memandang segala gejala berpangkal pada eksistensi. Eksistensi adalah cara manusia berada di dunia. Cara berada manusia berbeda dengan cara beradanya benda-benda materi. Keberadaan benda-benda materi berdasarkan ketidaksadaran akan dirinya sendiri, dan juga tidak terdapat komunikasi antara satu dengan lainnya. Tidak demikian halnya dengan beradanya manusia. Manusia berada bersama dengan manusia lainnya sama, yaitu sederajat.
Pandangannya tentang pendidikan disimpulkan oleh Van Cleve Morris dalam Existentialism and Education,  bahwa “Eksistensialisme tidak menghendaki adeanya aturan-aturan pendidikan dalam segala bentuk” oleh sebab itu eksistensialisme dalam hal ini menolak bentuk-bentuk pendidikan sebagaimana yang ada sekarang. Namun bagaimana konsep pendidikan eksistensialisme yang diajukan oleh Morris sebagai “Existentialism’s concept of freedom in education”, menurut Bruce F. Baker, tidak memberikan kejelasan. Barangkali Ivan Illich dengan Deschooling Society, yang banyak mengundang reaksi dikalangan ahli pendidikan merupakan salah satu model pendidikan yang dikehendaki aliran eksistensialisme. Di sini agaknya mengapa aliran eksistensialisme tidak banyakdibicarakan dalam filsafat pendidikan.[6]
Eksistensialisme biasa dialamatkan sebagai salah satu reaksi dari sebagian terbesar reaksi terhadap peradaban manusia yang hampir punah akibat perang dunia kedua. Dengan demikian eksistensialisme pada hakikatnya adalah merupakanaliran filsafat yang bertujuan mengembalikan keberadaan umat manusia sesuai dengan keadaan hidup asasi yang dimiliki dan dihadapinya.
Sebagai aliran filsafat, eksistensialisme berbeda dengan filsafat eksistensi. Paham eksistensialisme secara radikal menghadapkan manusia pada dirinya sendiri, sedangkan filsafat eksistensi adalah benar-benar sebagai arti katanya, yaitu : “filsafat yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral”. Maka, di sini letak kesulitan merumuskan pengertian eksistensialisme – sebagai aliran filsafat. Bahkan para filosof eksistensialis sendiri tidak memperoleh perumusan yang sama tentang eksistensialisme itu per definisi.[7]
Menurut eksistensialisme ada 2 jenis filsafat tradisional, filsafat spekulatif dan filsafat skeptif. Filsafat spekulatif menyatakan bahwa pengalaman tidak banyak berpengaruh pada individu. Sedangkan Filsafat skeptif manyatakan bahwa semua pengalaman itu adalah palsu, tidak ada sesuatu yang dapat kita kenal dari realita. Menurut mereka konsep metafisika adalah sementara.[8]
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang pahamnya berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran bersifat relatif, dan karenanya masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar.[9]
C.     Implikasi filsafat  pendidikan Eksistensialisme terhadap disiplin dalam pendidikan
Eksistensialisme sebagai filsafat sangat menekankan individulitas dan pemenuhan diri secara pribadi. Setiap individu dipandang sebagai makhluk unik, dan secara unik pula ia bertanggungjawab terhadap nasibnya. Dalam hubungannya dengan pendidikan, Sikun Pribadi (1671) mengemukakan bahwa eksistensialisme berhubungan sangat erat dengan pendidikan karena keduanya bersinggungan satu sama lain pada masalah-masalah yang sama, yaitu manusia, hidup, hubungan antar manusia, hakikat kepribadian, dan kebebasan (kemerdekaan). Pusat pembicaraan eksistensialisme adalah “keberadaan” manusia, sedangkan pendidikan hanya dilakukan oleh manusia.[10]
Kehidupan ini penuh dengan berbagai pelaksanaan kebiasaan dan pengulangan kegiatan secara rutin dari hari ke hari yang berlangsung tertib. Di dalam kebiasaan dan kegiatan yang dilakukan secara rutin itu, terdapat nilai-nilai atau norma-norma yang menjaditolak ukur tentang benar tidaknya sesuatu yang dilakukan oleh seseorang. Norma-norma itu terhimpun menjadi aturan yang harus dipatuhi, karena setiap penyimpangan atau pelanggaran, akan menimbulkan keresahan, keburukan dan kehidupan pun berlangsung tidak efektif atau bahkan tidak efisien. Dengan demikian berarti manusia dituntut untuk mematuhi berbagai ketentuan atau harus hidup secara berdisiplin, sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku di masyarakatnya.[11]
Peserta didik sejak dini harus dikenalkan dengan nilai-nilai yang mengatur kehidupan manusia, yang berguna bagi dirinya masing-masing agar berlangsung tertib, efisien, dan efektif. Dengan kata lain setiap pesrta didik harus dibantu hidup secara disiplin, dalam arti mau dan mampu mematuhi atau mentaati ketentuan yang berlaku dilingkungan keluarga, masyarakat, bangsa, dan negaranya.[12]
Hakekat pendidikan menurut eksistensialisme dalam pendidikan adalah menghendaki agar pendidikan selalu melibatkan peserta didik dalam mencari pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhannya masing-masing dan menemukan jati dirinya, karena masing-masing individu adalah makhluk yang unik dan bertanggung jawab atas diri dan nasibnya sendiri.lalu metode yang digunakannya adalah untuk mendorong siswa mengikuti proyek-proyek yang membantu mereka untuk mengembangkan keterampilan dan pengetahuan yang di perlukan.[13]
Eksistensialisme berpendapat bahwa pelajar adalah individu yang dapat mengembangkan potensinya masing-masing untuk mencapai jati dirinya. Sedangkan pengajar adalah pembimbing dan stimulator berfikir reflektif melalui panggilan pertanyaan-pertanyaan, bukan memberi intruksi, memiliki kejuruan ilmiah, integritas, dan kreatifitas serta figure yang tidak mencampuri perkembangan minat dan bakat siswa.[14]











BAB III
PENUTUP
  1. Kesimpulan
Eksistensialisme adalah suatu penolakan terhadap  suatu pemikiran abstrak, tidak logis atau tidak ilmiah. Eksistensialisme menolak bentuk kemutlakan rasional. Dengan demikian aliran ini hendak memadukan hidup yang dimiliki dengan pengalaman dan situasi sejarah yang ia alami dan tidak mau terikat oleh hal-hal yang sifatnya abstrak  serta spekulatif, baginya, segala sesuatu dimulai dari pengalaman pribadi, keyakinan yang  tumbuh dari dirinyadan kemampuan serta keluasan jalan untuk mencapai keyakinan hidupnya.
Eksistensialisme adalah filsafat yang memandang segala gejala dengan berpangkal kepada eksistensi. Eksistensi adalah cara manusia berada di dalam dunia. Eksistensialisme berasal dari pemikiran Soren Kier Kegard. Eksistensialisme sebagai filsafat, sangat menekankan individualitas dan pemenuhan diri secara pribadi. Eksistensialisme sangat berhubungan erat dengan pendidikan, karena keduanya bersinggungan satu dengan yang lainnya pada masalah-masalah yang sama, yaitu manusia, hidup, hubungan antar manusia, hakikat kepribadian, dan kebebasan (kemerdekaan).





DAFTAR PUSTAKA

As’adi Basuki dan Ulum Miftakhul, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Ponorogo: STAIN Po Press. 2010)
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Askara, 1994)
Ramayulis H, Ilmu Pendidikn Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2006)









[2] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Basuki As’adi dan Miftakhul Ulum, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Ponorogo: STAIN Po Press. 2010), Hal. 29
[6] Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Askara, 1994), 31
[7] Ibid, Hal. 30
[11] H. Ramayulis, Ilmu Pendidikn Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2006), Hal. 199
[12] Ibid, Hal. 200
[13] Basuki As’adi dan Miftakhul Ulum, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Ponorogo: STAIN Po Press. 2010), Hal. 47
[14] Ibid, Hal. 48

ILMU QASHASHUL QUR`AN

Jumat, 05 April 2013
Posted by Unknown


  1. Ayat

`ä3tFø9ur öNä3YÏiB ×p¨Bé& tbqããôtƒ n<Î) ÎŽösƒø:$# tbrããBù'tƒur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ tböqyg÷Ztƒur Ç`tã ̍s3YßJø9$# 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd šcqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÊÉÍÈ  
  1. Mufrodat: 
  2. Terjemah
dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar[217]; merekalah orang-orang yang beruntung.
  1. Asbabun Nuzul  
Pada zaman jahiliyah sebelum Islam ada dua suku yaitu; Suku Aus dan Khazraj yang selalu bermusuhan turun-temurun selama 120 tahun, permusuhan kedua suku tersebut berakhir setelah Nabi Muhammad SAW mendakwahkan Islam kepada mereka, pada akhirnya Suku Aus; yakni kaum Anshar dan Suku Khazraj hidup berdampingan, secara damai dan penuh keakraban, suatu ketika Syas Ibn Qais seorang Yahudi melihat Suku Aus dengan Suku Khazraj duduk bersama dengan santai dan penuh keakraban, padahal sebelumnya mereka bermusuhan, Qais tidak suka melihat keakraban  dan kedamaian mereka, lalu dia menyuruh seorang pemuda Yahudi duduk bersama Suku Aus dan Khazraj untuk menyinggung perang “Bu’ast” yang pernah terjadi antara Aus dengan Khazraj lalu masing-masing suku terpancing dan mengagungkan sukunya masing-masing,  saling caci maki dan mengangkat senjata, dan untung Rasulullah SAW yang mendengar perestiwa tersebut segera datang dan menasehati mereka: Apakah kalian termakan fitnah jahiliyah itu, bukankah Allah telah mengangkat derajat kamu semua dengan agama Islam, dan menghilangkan dari kalian semua yang berkaitan dengan jahiliyah?. Setelah mendengar nasehat Rasul, mereka sadar, menangis dan saling berpalukan. Sungguh peristiwa itu adalah seburuk-buruk sekaligus sebaik-baik peristiwa. Demikianlah asbabun nuzul Q.S. Ali Imran ayat 104.

  1. Ayat al-Quran lain sebagai pendukung 
Surat At-Taubah ayat 71
tbqãZÏB÷sßJø9$#ur àM»oYÏB÷sßJø9$#ur öNßgàÒ÷èt/ âä!$uŠÏ9÷rr& <Ù÷èt/ 4 šcrâßDù'tƒ Å$rã÷èyJø9$$Î/ tböqyg÷Ztƒur Ç`tã ̍s3ZßJø9$# šcqßJŠÉ)ãƒur no4qn=¢Á9$# šcqè?÷sãƒur no4qx.¨9$# šcqãèŠÏÜãƒur ©!$# ÿ¼ã&s!qßuur 4 y7Í´¯»s9'ré& ãNßgçHxq÷Žzy ª!$# 3 ¨bÎ) ©!$# îƒÍtã ÒOŠÅ3ym ÇÐÊÈ  
71. dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Ketika membawakan kedua ayat diatas, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,”Dalam ayat ini Allah menjelaskan, Ummat Islam adalah Ummat terbaik bagi segenap Ummat manusia. Ummat yang paling memberi manfaat dan baik kepada manusia. Karena mereka telah menyempurnakan seluruh urusan kebaikan dan kemanfaatan dengan amar ma’ruf nahi munkar. Mereka tegakkan hal itu dengan jihad di jalan Allah dengan jiwa dan harta mereka. Inilah anugerah yang sempurna bagi manusia.  Ummat lain tidak memerintahkan setiap orang kepada semua perkara yang ma’ruf (kebaikan) dan melarang semua kemunkaran. Merekapun tidak berjihad untuk itu. Bahkan sebagian mereka sama sekali tidak berjihad. Adapun yang berjihad -seperti Bani Israil- kebanyakan jihad mereka untuk mengusir musuh dari negerinya.

  1. Kandungan Ayat atau Tafsir
`ä3tFø9ur öNä3YÏiB ×p¨Bé& tbqããôtƒ n<Î) ÎŽösƒø:$# tbrããBù'tƒur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ tböqyg÷Ztƒur Ç`tã ̍s3YßJø9$# 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd šcqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÊÉÍÈ  
104. dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar[217]; merekalah orang-orang yang beruntung.

[217] Ma'ruf: segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan Munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.
Orang yang diajak bicara dalam ayat ini ialah kaum mu’minin seluruhnya. Mereka terkena taklif agar memilih suatu golongan yang melaksanakan kewajiban ini. Realisasinya adalah hendaknya masing-masing anggota kelompok tersebut mempunyai dorongan dan mau bekerja untuk mewujudkan hal ini, dan mengawasi perkembangannya dengan kemampuan optimal.


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Syadali, Ulumul Qur’an jild II  Bandung : CV. Pustaka Setia

Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an

Mana’ul Quthan, Pembahasan Ilmu Qur’an jilid II Jakarta: Rineka Cipta

http://istanailmu.com/2011/04/12/qashash-kisah-kisah-dalam-alquran/html, diakses pada tanggal: 13-06-2011, jam  13:17

ILMU QASHASHUL QUR`AN

Makalah ini Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas pada Mata Kuliah
 ULUMUL QUR`AN

untitled.bmp










Disusun oleh :
Irsyadul Albaab          (210310186)
Muhammad Yusuf      (210310209)
Dimas Ariyanto Z         (210310198)



Dosen Pengampu :

H. Moh. Munir, Lc, M. Ag.
NIP. 19680705 199903 1 001

JURUSAN TARBIYAH
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PONOROGO

 
2011
Welcome to My Blog

Popular Post

Blogger templates

Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © Informant -Yusuf Kanra- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -