Posted by : Unknown
Minggu, 31 Maret 2013
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam pola kehdupan umat islam sejarah tdak hanya digunakan sebagai pedoman
dan cerminan, namun juga sebagai instrumen untuk memahami secara lebih mendalam
tentang makna yang tersirat dalam islam. Sejarah adalah kisah nyata dari masa
lalu yang dijadikan acuan bagi masa kn dan masa mendatang demi terealisasinya
kehidupan yang lebih bak.
Untuk itu tdak ada salahnya mempelajari sekilas sejarah yang terjadi di masa
lalu terkait dengan sejarah tentang agama islam. Hal itu dilakukan agar
mengetahui bagaimana keadaan islam sesungguhnya. Lebih jauh lagi agar dapat
mengambil hikmah dan teladan yang terkandung dalam nilai-nilai sejarah islam.
Dalam makalah ini, akan mengulas sedikit
tentang peradaban islam pada masa Dinasti Umawiyah I, yang bahasannya meliputi:
Proses Berdirinya Dinasti Umawiyah, para
khalifah, sstem pemerintahan, dan perkembangan peradaban.
B. Rumusan Masalah
1. Proses Berdirinya Dinasti Umawiyah
2. Para Khalifah Dinasti Umawiyah l
3. Sistem Pemerintahan.
4. Perkembangan Peradaban
BAB II
PEMBAHASAN
A. Proses Berdirinya Dinasti Umawiyah
Sepeninggal Ali bin Abu Thalib, gubernur Syam tampil sebagai
penguasa Islam yang kuat. Masa kekuasaannya merupakan awal kedaulatan Bani
Umayah. Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb adalah pembangun dinasti Umayah dan
sekaligus menjadi khalifah pertama. Ia memindahkan ibukota kekuasaan Islam dari
Kufah ke Damaskus. (Mufrodi, 1997: 69)
Keberhasilan Muawiyah dalam meraih jabatan
khalifah dan membangun pemerintahan Bani Umayah bukan hanya akibat dari
kemenangan diplomasi di Shiffin dan terbunuhnya Khalifah Ali saja, melainkan
merupakan hasil akhir dari peristiwa-peristiwa politik yang dihadapinya dan
karir politiknya yang cukup cemerlang.
Pada awal pemerintahan Ali bin Abu Thalib, Muawiyah diminta untuk
meletakkan jabatan, tetapi ia menolaknya. Bahkan ia tidak mengakui kekhalifahan
Ali dan memanfaatkan peristiwa berdarah yang menimpa Usman bin Affan untuk
menjatuhkan legalitas kekuasaan Ali dengan membangkitkan kemarahan rakyat dan
menuduh Ali sebagai orang yang mendalangi pembunuhan Usman, jika Ali tidak
dapat menemukan dan menghukum pembunuh yang sesungguhnya. (Mufrodi, 1997: 65)
Desakan Muawiyah tersebut mengakibatkan terjadinya pertempuran
sengit antara pihaknya dan pihak Ali sebagai khalifah di kota tua Shiffin yang
berakhir dengan proses tahkim
(arbitrase) pada tahun 37 H. Dalam pertempuran yang memakan waktu berhari-hari
ini, menurut catatan al-Thabari (V/48), sebenarnya pihak Muawiyah sudah
terdesak dan merasa khawatir akan kalah. Pada saat inilah timbul gagasan dari
‘Amr bin al-‘Ash untuk menghentikan perang sementara dengan cara mengangkat
mushaf al-Quran. Gagasan ini disambut baik oleh Muawiyah. Peristiwa ini
kemudian berlanjut pada terjadinya perundingan damai melalui proses tahkim.
Pihak Muawiyah bersama penduduk Syam sepakat menunjuk ‘Amr bin
al-‘Ash sebagai wakil bagi perundingan tersebut. Sedangkan pihak Ali bin Abu
Thalib, atas usulan dari al-Asy’as, Zaid bin Hushain at-Thai, dan Mis’ar bin Fadaki,
diwakili oleh Abu Musa al-Asy’ari.
Setelah kedua belah pihak menyepakati wakilnya masing-masing,
mereka pun menulis surat kesepakatan yang dihadiri oleh para saksi dari kedua
belah pihak. Inti dari kesepakatan yang dibuat pada bulan Shafar tahun 37 H ini
adalah gencatan senjata dan akan bertemu kembali dalam sebuah perundingan pada
bulan Ramadhan di Dumatul Jandal wilayah Adzruh.
Menurut al-Waqidi, pertemuan ini terjadi pada bulan Sya’ban tahun
38 H Sesuai dengan kesepakatan
sebelumnya, pada bulan Ramadhan, kedua belah pihak bertemu lagi di Dumatul
Jandal disertai pasukannya masing-masing sebanyak 400 orang. Dalam pertemuan
ini, ‘Amr bin al-‘Ash dan Abu Musa al-Asy’ari berunding untuk menentukan
khalifah. ‘Amr mengajukan Muawiyah, tetapi ditolak oleh Abu Musa. Kemudian ia
menawarkan anaknya, Abu Musa pun menolaknya. Lalu Abu Musa mengajukan Abdullah
bin Umar, tetapi ‘Amr menolaknya. Akhirnya Abu Musa mengusulkan agar Muawiyah
dan Ali dilepas jabatannya terlebih dahulu dan penyelesaian akan diserahkan
kepada musyawarah umat secara umum. ‘Amr bin al-‘Ash menyetujuinya.
Setelah bersepakat, keduanya menghadap kepada dua pasukan ini. Lalu
‘Amr meminta Abu Musa untuk menyampaikan kesepakatan itu lebih dulu dengan
alasan ia lebih senior. Setelah Abu Musa menyampaikan isi kesepakatan itu, ‘Amr
bin al-‘Ash tampil dan menyampaikan pidatonya. Ia mengatakan, “Sesungguhnya
masalah ini, sebagaimana kalian dengar darinya tadi, dan ia telah melepas
jabatan sahabatnya. Aku pun melepas jabatan sahabatnya sebagaimana ia melakukannya.
Dan sekarang, aku menetapkan sahabatku, Muawiyah, karena dia termasuk walinya
Usman bin Affan dan yang menuntut hukuman bagi pembunuh Usman, serta ia
termasuk orang yang lebih berhak menduduki jabatan ini”. Mendengar pidato ini,
Abu Musa pun marah. Lalu keduanya saling mencaci maki. Syuraih bin Hani, dari
pihak Ali, mengangkat cemetinya dan mencambuk ‘Amr bin al-‘Ash. Putra ‘Amr
membalasnya. Kemudian orang-orang berdiri dan memisahkannya, lalu mereka pun
berpencar dengan membawa keputusan yang merugikan sebelah pihak ini.
Seusai
proses tahkim, lama kelamaan pasukan Ali terus berkurang dan melemah. Kelompok
Khawarij yang berjumlah sekitar 12.000 orang turut serta merepotkan Ali.
Wilayah kekuasaannya pun terus digerogoti oleh pasukan Muawiyah. Sementara
kekuatan Muawiyah semakin kokoh. Dia mendapat dukungan yang kuat dari rakyat
Syam dan keluarga Bani Umayah.
Kelompok Khawarij, walaupun Ali sudah beberapa kali mencoba untuk
membujuk mereka agar bertobat dan kembali kepada barisan Ali, terus menerus
menyimpan kekesalannya. Hingga akhirnya, mereka bersepakat untuk membunuh tiga
orang yang langsung terlibat dalam proses tahkim; Ali, Muawiyah, dan ‘Amr bin
al-‘Ash. Tetapi usaha pembunuhan itu hanya berhasil membunuh Ali. Sedangkan
Muawiyah dan ‘Amr bin al-‘Ash selamat. Pada tanggal 17 Ramadhan 40 H (660 M),
Ali ditikam oleh seorang anggota Khawarij yang bernama Binu Muljam dan
meninggal dunia pada tanggal 20 Ramadhan 40 H.
Pada tahun ini, warga Kufah membaiat al-Hasan untuk menggantikan
posisi ayahnya. Al-Hasan pun menerima baiat dari mereka. Tetapi tidak lama
kemudian, dengan kegamangan hati mereka, mereka pun tidak sanggup menghadapi
pasukan Muawiyah. Akhirnya al-Hasan mengajukan posisinya kepada Muawiyah
melalui perjanjian damai. Perjanjian ini dapat mempersatukan umat Islam kembali
dalam satu kepemimpinan politik di bawah Muawiyah bin Abu Sufyan. Di sisi lain,
perjanjian itu juga menyebabkan Muawiyah menjadi penguasa absolut dalam Islam.
Tahun 41 H (661 M), tahun persatuan itu, dikenal dalam sejarah sebagai tahun
jama’ah (‘am al-jama’ah). (Yatim,
1993: 40)[1]
B. Para Khalifah Dinasti Umawiyah l
Dinasti Umawiyah yang ibukota pemerintahanya di Damaskus,
berlangsung selama 91 tahun. Masa permulaan di tandai dengan usaha-usaha
Mu’awyah meletakkan dasar-dasar pemerintahan dan orientasi kekuasaan. Kejayaan
Sani Umayah dimulai pada masa pemerintahan ‘Abd al-Malik. Dia danggap sebagai
pendri dinasti Umayah kedua karena mampu mencegah disintegrasi yang telah
terjadi sejak masa Marwan. Kejayaan Bani Umayyah berakhir pada masa
pemerintahan ‘Umar ibn ‘Abd al-Aziz (‘Umar II). Pada tahun 750 terjadi
pertempuran antara pasukan Abbasiyah yang dipmpn oleh Abu Muslim Al-Khurasani
dan pasukan Umawiyyah terjadi di Irak. Tidak lama kemudian Damaskus jatuh ke
tangan kekuasaan Bani Abbas.
Adapun
urutan-urutan khalifah Umayah I adalah sebagai berikut.[2]
1.
Muawiyah
I bin Abi Sufyan (41-60H/661-680M)
2.
Yazid
bin Muawiyah (60-64H/680-683M)
3.
Muawiyah
II bin Yazid (64H/683-683M)
4.
Marwan
bin Hakam (64H/684M)
5.
Abdul
Malik bin Marwan (65-86H/685-705M)
6.
Al-Walid
bin Abdul Malik (86-96H/705-715M)
7.
Sulaiman
bin Abdul Malik (96-99H/715-717M)
8.
Umar
bin Abdul Aziz (99-101H/717-720M)
9.
Yazid
bin Abdul Malik (101-105H/720-724M)
10.
Hisyam
bin Abdul Malik (105-125H/724-743M)
11.
Al-Walid
II bin Yazid (125-126H/743-744M)
12.
Ibrahim
bin al-Walid(126-127H/744M)
13.
Marwan II bin Muhammad (127-132H/744-750M)
C.
Sistem
Pemerintahan.
Memasuki masa kekuasaan Muawiyah yang menjadi awal kekuasaan Bani
Umayah ini, sistem pemerintahan Islam yang dulunya bersifat demokrasi berubah
menjadi monarki heredetis (kerajaan
turun temurun). Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika
Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya,
Yazid. (Binu Taimiyah, 1951: 42)
Perintah ini tentu saja memberikan
sinyal awal bahwa kesetiaan terhadap Yazid merupakan bentuk pengokohan terhadap
sistem pemerintahan yang turun temurun telah coba dibangun oleh Muawiyah. Tidak
ada lagi suksesi kepemimpinan berdasarkan asas musyawarah (syuro) dalam
menentukan seorang pemimpin baru. Muawiyah telah merubah model kekuasaan dengan
model kerajaan yang membenarkan regenerasi kekuasaan dengan cara memberikan
kepada putera mahkota. Orang-orang yang berada di luar garis keturunan
Muawiyah, secara substansial tidak memiliki ruang dan kesempatan yang sama
untuk memimpin pemerintah umat Islam, karena sistem dinasti hanya membenarkan
satu kebenaran bahwa suksesi hanya bisa diberikan kepada keturunan dalam
dinasti tersebut. (Suhaidi, deeMuhammad.blogspot.com)
Tradisi bentuk khilafah konfederasi yang
dicanangkan oleh Rasulullah pada tahun 622 M (awal periode Madinah), terus
berlanjut hingga masa Dinasti Umayah sejak tahun 661 M. Bedanya, Rasulullah
menerapkan bentuk konfederasi kabilah, sedangkan Dinasti Umayah menerapkan
konfederasi propinsi. Untuk menangani banyaknya propinsi yang ada, maka
khalifah ketika itu, Muawiyah bin Abu Sofyan, mencoba menggabung beberapa
wilayah menjadi satu propinsi. Wilayah-wilayah ini terus berkembang sejalan dengan keberhasilan
program futuhat (ekspansi). Setiap
gubernur memilih amir atas jajahan yang berada dalam kekuasaannya, dan para
amir tersebut bertanggung jawab langsung kepada khalifah. Konsekuensinya, para
amir berfungsi sebagai khalifah di daerah. Nilai politis kebijakan ini adalah
upaya sentralisasi wilayah kekuasaan, mengingat potensi daerah-daerah tersebut
dalam menopang jalannya pemerintahan, baik dari sudut pandang ekonomi, maupun
keamanan dan pertahanan nasional. Pada masa Hisyam bin Abdul Malik, gubernur mempunyai
wewenang penuh dalam hal administrasi politik dan militer dalam propinsinya,
namun penghasilan daerah ditangani oleh pejabat tertentu (sahib al-kharaj) yang mempunyai tanggung jawab langsung pada
khalifah.
D.
Perkembangan
Peradaban
Bidang
arsitektur (seni bangunan) pada zaman Umawiyyah bertumpu pada bangunan spil
berupa kota-kota dan bangunan agama berupa masjid. Damaskus yang pada masa sebelum slam merupakan ibukota kerajaan
Romawi timur di Syam adalah kota lama yang di bangun kembali pada masa
Umawiyyah dan dijadikan ibukota dnast ini. Pada masa al-Walid dibangun masjid
agung yang terkenal dengan nama masjid Damaskus atas kreasi arsitektur Abu
Ubaidah ibn Jarrah. Pada masa Umawiyah organisasi militer terdiri dari angkatan
darat (al-jund), angkatan laut (al-bahriyah), dan angkatan
kepolisian (as-syurthah).
Bidang
perdagangan pada saat dinasti Umawiyah berhasil menguasai wilayah yang cukup
luas, maka lalu lintas perdagangan mendapat jaminan yang layak. Lalu lintas
darat melalui jalan Sutera ke Tiongkok guna memperlancar perdagangan sutera,
keramik, obat –obatan dan wewangian. Adapun lalu lintas di lautan kea rah
negri-negri belahan timur untuk mencari rempah-rempah, bumbu, anbar, katsuri,
permata, logam mulia, gading dan bulu-buluan. [3]
BAB III
KESIMPULAN
Sepeninggal Ali bin Abu Thalib, gubernur Syam tampil sebagai
penguasa Islam yang kuat. Masa kekuasaannya merupakan awal kedaulatan Bani
Umayah. Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb adalah pembangun dinasti Umayah dan
sekaligus menjadi khalifah pertama. Ia memindahkan ibukota kekuasaan Islam dari
Kufah ke Damaskus.
Dinasti Umawiyah yang ibukota pemerintahanya di Damaskus,
berlangsung selama 91 tahun.
Memasuki masa kekuasaan Muawiyah
yang menjadi awal kekuasaan Bani Umayah ini, sistem pemerintahan Islam yang
dulunya bersifat demokrasi berubah menjadi monarki
heredetis (kerajaan turun temurun).
izin copy
BalasHapus