Posted by : Unknown
Minggu, 31 Maret 2013
Maqamat dan Ahwal
A. Maqamat
Seorang sufi tidak begitu saja dapat dekat
dengan tuhan sebelum ia menempuh latihan-lathian tertentu. Ia harus mwnwmpuh
beberapa displin keronahian dalam berbagai pengalaman yang dirasakan dan
diperoleh melalui usaha-usaha tertentu yang yang disebut maqam(stasiun).
Maqamat (bentuk jamak dai maqam) mengandung
arti tngkatan-tingkatan hidup sufi yang telah dapat dicapai oleh para sufi
untuk dekat pada Tuhan. Menurut Sarraj, Maqamat tinkatan-tingkatan seorang
hamba di hadapan Tuhan dalam hal ibadah, mujahadah dan riadhah(memerangi dan
menguasai hawa nafsu). Seseorang baru dapat pindah dan naik dari satu tingkat
ketingkat yang lebih tinggi setelah melalui latihan dan melakukan kebiasaan
yang lebih baik.
Jumlah maqam yang harus ditempuh oleh para
sufi berbeda-beda sesuai dengan pengalaman pribadi yang bersangkutan. Abu Nasr
Al-Sarraj menyebut tujuh maqam yaitu taubat, wara', zuhud, kefakiran,
kesabaran, tawakal, dan keridaan. Al-Kalabdzi menyebut beberapa maqam yaitu
taubat, zuhud, sabar , Al faqr, tawadlu, taqwa, tawakal, ridlo, mahabbah, dan
ma'rifat. Menurut Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya' Ulum Al-Din mengatakan
maqamat itu ada delapan yaiyu Al-taubah, Al-shabr, Al-zuhud, Al-tawakal,
Al-mahabbah, Al-ma'rifat, dan Al-ridla.
Menurut al-Qusyairi (w. 465 H) maqam adalah tahapan adab (etika) seorang hamba dalam rangka
wushul (sampai) kepadaNya dengan berbagai upaya, diwujudkan dengan suatu tujuan
pencarian dan ukuran tugas. Adapun pengertian maqam dalam pandangan al-Sarraj (w. 378 H) yaitu
kedudukan atau tingkatan seorang hamba dihadapan Allah yang diperoleh melalui
serangkaian pengabdian (ibadah), kesungguhan melawan hawa nafsu dan
penyakit-penyakit hati (mujahadah), latihan-latihan spiritual (riyadhah) dan
mengarahkan segenap jiwa raga semata-mata kepada Allah.
- Taubah
At-Taubah
berasal dari bahasa arab taba, yatubu, taubatan yang artinya
kembali. Sedangkan taubah yang di maksud oleh kalangan sufi ialah memohon ampun
atas segala dosa dan kesalahan disertai janji yang sungguh-sungguh tidak akn
mengulangi perbuatan dosa tersebut, yang disertai dengan melakukan amal
kebajikan. Ibnu Hamdan mengatakan bahwa taubah adalah kembali dari sesuatu yang
diketahui tercela kepada sesuatu yang terpuji. Al-Ghazali memberikan definisi
taubat adalah kembali dari kemaksiatan menuju ketaatan kembali dari jalan jauh kejalan
yang lebih dekat. Tobat bukan hanya sebagai penghapis dosa, tetapi juga sarana
untuk mendekatkan diri kepada Allah. Tobat yabg dimaksud sufi adalah tobat yang
sebenar-benarnya, tobat yang tidak akan kembali berbuat dosa.
Di dalam al-Qur'an banyak dijumpai ayat-ayat
yang menganjurkan manusia agar bertaubat di antaranya:
Artinya
: "Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang
beriman supaya kamu beruntung". (Q.S. An-Nuur : 31)
- Zuhud
Secara harfiyah zuhud berarti tidak ingin
kepada sesuatu yang bersifat keduniawian. Sedangkan menurut Harun Nasution
zuhud artinya keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Selanjutnya
Al-Qusyairi mengatakan bahwa diantara para ulama berbeda pendapat dalam
mengartikan zuhud. Sebagian ada yang mengatakan bahwa zuhud adalah orang yang
zuhud di dalam masalah yang haram karena yang halal adalah sesuatu yang mubah
dalam pandangan Allah yaitu orang yang diberikan nikmat berupa harta yang halal,
kemudian ia bersyukur dan meninggslksn dunia itu dengan kesadarnya sendiri.
Sebagian ada pula yang mengatakan bahwa zuhud adalah zuhud dalam yang haram
sebagai suatu kewajiban. Bagi seorang sufi, zuhud merupakan stasiun penting
yang harus dilalui. Tanpa jalan zuhud, calon sufi tidak akan mencapai derajat
sufi. Ahmad bin Hanbal membagi zuhud menjadi tiga macam: Pertama zuhud
awam dengan meninggalkan yang haram. Kedua zuhud orang khawas dengan
meninggalkan yang halal dan ketiga zuhud orang yang arif dengan
meninggalkan apa saja yang akan
menghalanginya dari Allah.
Menurut Syaikh Syihabuddin ada tiga jenis
kezuhudan yaitu : pertama,
Kezuhudan orang-orang awam dalam peringkat pertama. Kedua, kezuhudan orang-orang
khusus (kezuhudan dalam kezuhudan). Hal ini berarti berubahnya kegembiraan yang
merupakan hasil daripada zuhud hanyalah kegembiraan akhirat, sehingga nafsunya
benar-benar hanya dipenuhi dengan akhirat. Ketiga,
Kezuhudan orang-orang khusus dikalangan kaum khusus. Dalam peringkat ketiga ini
adalah kezuhudan bersama Allah. Hal ini hanyalah dikhususkan bagi para Nabi dan
manusia suci. Mereka telah merasa fana’ sehingga kehendaknya adalah kehendak
Allah. Sedangkan menurut al-Sarraj ada tiga kelompok zuhud :
1. Kelompok
pemula (mubtadiin), mereka adalah orang-orang yang kosong tangannya
dari harta milik, dan juga kosong kalbunya.
2. Kelompok
para ahli hakikat tentang zuhud (mutahaqqiqun fi al-zuhd). Kelompok
ini dinyatakan sebagai orang-orang yang meninggalkan kesenangan-kesenangan jiwa
dari apa-apa yang ada di dunia ini, baik itu berupa pujian dan penghormatan
dari manusia.
3. Kelompok
yang mengetahui dan meyakini bahwa apapun yang ada di dunia ini adalah halal
bagi mereka, namun yakin bahwa harta milik tidak membuat mereka jauh dari Allah
dan tidak mengurangi sedikitpun kedudukan mereka, semuanya semata-mata karena
Allah.
Orang yang zuhud lebih mengutamakan atau
mengejar kebahagiaan hidup di akhirat yang kekal dan abadi, daripada mengejar
kehidupan di dunia yang fana' dan sepintas selalu. Hal ini dapat dipahami dari
isyarat ayat yang berbunyi;
Artinya:
"Katakanlah: "Kesenangan di dunia Ini Hanya sebentar dan akhirat
itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya
sedikitpun." (Q.S. Al-Nisa' : 77)
- Wara'
Wara' secara harfiyah artinya saleh,
menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Dalam pengertian sufi wara' adalah
meninggalkan yang di dalamnya terdapat keragu-raguan atau subhad. Defenisi
wara' menurut Abu zakaria al-Anshari adalah menjauhkan diri dari subhad dan
dari yang tidak membawa kebaikan dalam kehidupan agama, walaupun halal. Imam
al-Khusyairi mengutip perkataan Ibrahim bin Adam yang mengatkan bahwa wara'
adalah meninggalkan yang subhad dan segala yang tidak jadi kepentingannya,
yaitu segala yang berlebih-lebihan.
Dilihat dari segi jenisnya wara' terbagi dua:
wara' anggota lahir dan anggota batin. Wara' lahir adalah tidak menggerakkan
anggota badan melainkan kepada yang diridhai Allah. Sedangkan wara' batin
adalah tidak memasukkan kepada ingatan dan kenangan kecuali kepada Allah.
Al-Saraj membagi wara' menjadi tiga tingkatan: Memelihara diri dari yang
subhad, memelihara diri dari yang halal yang akan membawa kepada maksiyat dan
memelihara diri dari sesuatu yang halal yang akan membawa lupa kepada Allah.
- Fakr
Secara harfiyah fakr biasanya diartikan
seperti orang yang berhajad, butuh atau orang yang miskin. Sedangkan dalam
pandangan sufi fakr adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada
diri kita. Menurut Ibnu Qudamah, fakr adalah orang yang berhajad kepada
sesuatu. Karena itu selain Allah adalah fakr karena ia selalu behajad kepada
Allah dan selalu memerlukan kemurahan-Nya. Menurut Imam al-Ghazali sikap fakr
yang senanti asa berhajad kepada Allah adalah sebagian dari iman dan buah dari
ma'rifat yang mendalam sehingga dalam pandangan si fakr merasakan bahwa ia
selalu berhajad atau berkehendak kepada Allah.
Dzu al-Nun mengatakan:
"Alamat seorang hamba akan
mendapat murka Tuhan adalah takut fakir".
Ada tiga hal yang diperhatikan orng sufi,
yaitu pertama benda yang diberikannya apakah halal, haram atau subhad. Kedua
si pemberi tidak mempunyai tujuan untuk keuntungan atau kepentingan
sendiri. Ketiga tujuan pemberian
hanyalah mengharap pahala dari Allah.
- Sabar
Secara harfiyah sabar berarti tabah hati.
Menurut Zun al-Nun al-Misyri sabar artinya menjauhkan diri dari hal-hal yang
bertentangan dengan kehendak Allah, tetapi tenang ketika mendapatkan cobaan,
dan menampakkan sikap cukup walaupun sebenarnya berada dalam kefakiran dalam
bidang ekonomi. Ibnu Atha mengatakan sabar artinya tetap tabah dalam menghadapi
cobaan dengan sikap yang baik. Ibnu Usman al-Hairi mengatakan sabar adalah
orang yang mampu memasung dirinya atas segala sesuatu yang kurang menyenangkan.
Artinya
: "Maka Bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan
hati dari rasul-rasul Telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan
(azab) bagi mereka. pada hari mereka melihat azab yang diancamkan kepada mereka
(merasa) seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat pada siang hari.
(Inilah) suatu pelajaran yang cukup, Maka tidak dibinasakan melainkan kaum yang
fasik." (Q.S. Al-ahqaf : 35)
Al-Ghazali menyebutkan sabar sebagai kondisi
jiwa dalam mengendalikan nafsu yang terjadi karena dorongan agama. Ia membagi
sabar kepada tiga tingkatan yaitu;
a.
Sabar tertinggi, yaitu sifat yang mampu menghadapi
semua dorongan nafsu, sehingga nafsu benar-benar dapat ditundukkan.
b.
Sabar orang-orang yang sedang dalam perjuangan. Pada
tahap ini mereka terkadang dapat menguasai hawa nafsu, tetapi terkadang mereka
dikuasai hawa nafsu. Sehingga campur aduk antara yang baik dan yang buruk,
c.
Tingkatan terendah yaitu sabar karena kuatnya hawa
nafsu dan kalahnya dorongan agama.
- Tawakal
Tawakal berarti keteguhan hati dalam
menyerahkan urusan kepada orang lain. Tawakal sebagai sikap mental seorang sufi
merupakan hasil dari keyakinannya yang bulat sepenuhnya kepada allah. Tawakal
terdiri dari tiga tingkatan. Pertama, tingkat bidayah(pemula),
yakni tawakalpada tingkat hati yang slalu merasa tentram terhadap apa yang
sudah dijanjikan Allah. Kedua, tingkat mutawasitthah
(pertengahan), yakni tawakal pada tingkat hati yang merasa cukup menyerahkan
segala urusan kepada Allah karena yakin bahwa Allah mengetahui keadaan dirinya.
Ketiga tingkat nihayah
(terakhir), yakni tawakal pada tingkat terjadi penyerahan diri seseorang
pada ridha atau merasa lapang menerima segala ketentuan Allah.
Tawakkal dalam tasawuf dijadikan washilah
untuk memalingkan dan menyucikan hati manusia agar tidak terikat dan tidak
ingin dan memikirkan keduniaan serta apa saja selain Allah. Pada dasarnya makna
atau konsep tawakkal dalam dunia tasawuf berbeda dengan konsep agama.
Tawakkal menurut para sufi bersifat fatalis, menggantungkan segala sesuatu pada
takdir dan kehendak Allah. Syekh Abdul Qadir Jailany menyebut dalam kitabnya
bahwa semua yang menjadi ketentuan Tuhan sempurna adanya, sungguh tidak
berakhlak seorang salik jika ia meminta lebih dari yang telah ditentukan Tuhan.
- Ridha
Ridha adalah suatu sikap mental yang mesti
dimiliki dan dijalani oleh seorang sufi, karena dengan sikap mental,
kebersihan, kesempurnaan dan ketinggian rohani dapat tercapai. Menurut
al-Qushairi ridha adalah tidak menentang apa yang ditetapkan oleh Allah. Rabiah
al-Adawiyah mengatakan bahwa ridha adalah ketika mendapat bencana, perasaan
cinta kepada Allah sama seperti saat mendapat nikmat.
Ridha menurut al-Sarraj merupakan sesuatu
yang agung dan istimewa, maksudnya bahwa siapa yang mendapat kehormatan dengan
ridha berarti ia telah disambut dengan sambutan paling sempurna dan dihormati
dengan penghormatan tertinggi. Dalam kitabnya al-Luma’ al-sarraj lebih lanjut
mengemukakan bahwa maqam ridha adalah maqam terakhir dari seluruh rangkaian
maqamat. Imam al-Gazali mengatakan bahwa hakikat ridha adalah tatkala hati
senantiasa dalam keadaan sibuk mengingatnya. Berdasarkan pernyataan tersebut
dapat dipahami bahwa seluruh aktivitas kehidupan manusia hendaknya selalu
berada dalam kerangka mencari keridhaan Allah.
B. Ahwal
Ahwal bentuk jamak dari hal. Hal adalah sikap
rohaniyah (mental) seorang sufi dalam perjalanan tasawufnya. Perbedaan antara
maqam dan hal adalah kalau maqam merupakan sikap hidup yang harus diusahakan
dengan kesungguhan dan latihan, sedangkan ahwal merupakan anugerah Allah bagi
yang dikendaki-Nya.
Ibn Arabi menyebut hal sebagai setiap sifat
yang dimiliki seorang salik pada suatu waktu dan tidak pada waktu yang lain,
seperti kemabukan dan fana’. Eksistensinya bergantung pada sebuah kondisi. Ia
akan sirna manakala kondisi tersebut tidak lagi ada. Hal tidak dapat dilihat
dilihat tetapi dapat dipahami dan dirasakan oleh orang yang mengalaminya dan
karenanya sulit dilukiskan dengan ungkapan kata.
Telah disebutkan diatas bahwa penjelasan
mengenai perbedaan maqamat dan hal membingungkan karena definisi dari
masing-masing tokoh tasawuf berbeda tetapi umumnya yang dipakai sebagai
berikut: Maqamat adalah perjalanan spiritual yang diperjuangkan oleh para sufi
untuk memperolehnya. Perjuangan ini pada hakikatnya merupakan perjuangan
spiritual yang panjang dan melelahkan untuk melawan hawa nafsu termasuk ego
manusia yang dipandang sebagai berhala besar dan merupakan kendala untuk menuju
Tuhan. Didalam kenyataannya para Salik memang untuk berpindah dari satu maqam
ke maqam lain memerlukan waktu berbilang tahun, sedangkan “ahwal” sering
diperoleh secara spontan sebagai hadiah dari Tuhan. Lebih lanjut kaum sufi
mengatakan bahwa hal adalah anugerah dan maqam adalah perolehan (kasb). Tidak
ada maqam yang tidak dimasuki hal dan tidak ada hal yang terpisah dari maqam.
Beberapa ulama mengatakan bahwa hal adalah
sesuatu yang tidak diam dan tidak mengikat (dinamis). Al-Gazali dalam
memberi pandangan yang menyatakan bahwa apabila seseorang telah mantap dan
tetap dalam suatu maqam, ia akan memperoleh suatu perasaan tertentu dan itulah
hal. Mengenai hal ini ia juga memberi contoh tentang warna kuning yang dapat
dibagi menjadi dua bagian, ada warna kuning yang tetap seperti warna kuning
pada emas dan warna kuning yang dapat berubah seperti pada sakit kuning.
Seperti itulah kondisi atau hal seseorang. Kondisi atau sifat yang tetap
dinamakan maqam sedangkan yang sifatnya berubah dinamakan hal. Menurut
Syihabuddin Suhrawardi seseorang tidak mungkin naik ke maqam yang lebih tinggi
sebelum memperbaiki maqam sebelumnya. Namun, sebelum beranjak naik, dari maqam
yang lebih tinggi turunlah hal yang dengan itu maqamnya menjadi kenyataan.
Adapun Ahwal itu banyak macamnya, diantaranya
sebagai berikut:
1.
Khauf
Khauf artinya merasakan takut akan terjadinya
sesuatu yang tidak diinginkan pada masa yang akan datang. Menurut Imam
Al-Qusairi: ''Khauf akan terjadi pada suatu masa yang akan datang, baik karna
tidak disenangi atau karena khawatir akan luput dari yang dicintai". Orang
yang takut kepada Allah akan takut kepada yang lain termasuk takut kepada
dirinya. Takut kepada Allah berarti takut kepada kebesaran dan kekuasaan-Nya,
sedangkan takut pada dirinya berarti takut karena merasa takut terhadap sesuatu
yang akan menimpa dirinya. Abu Al-Kasim Al-Hakim mengatakan, seseorang yang
takut kepada sesuatu selain Allah akan lari dari sesuatu yang ditakutinya, dan
seseorang yang takut kepada Allah, justru akan mendekati-Nya dan akan semakin
bertambah taat dan patuh kepada perintah-Nya.
Al-Ghazali membagi khauf kepada dua macam:
khauf karena kehilangan nikmat dan khauf karena siksaan. Khauf karna kehilangan
nikmat akan mendorong seseorang selalu akan memelihara nikmat dan
menempatkannya secara proposional. Sedangkan khauf karna siksa akan mendorong
seseorang untuk selalu melaksanakan perintah Allah dan menjauhi apa yang
dilarang-Nya.
Ibn Qudamah mengemukakan macam-macam bentuk
khauf sebagai sikap mental seorang sufi. Di antaranya ada yang takut menghadapi
maut; dalam maut yang membuat seseorang terlambat tobat.. Ada yang takut kalau
timbul kecenderungan maninggalkan ketekunan dan goyah dalam pendirian agama.
Ada yang takut kalau terjadi su'al-khatimah pada akhir hayatnya. Ada lagi yang
takut kalau terhalang dari Allah karena mengikuti hawa nafsu.
2.
Tawadu
Tawadhu dapat diartikan merendahkan
diri dan berlaku hormat kepada siapa saja. Adapun tawadhu yang menjadi sikap
mental sufi adalah selalu merendahkan diri, baik kepada manusia maupun kepada
Allah, karna orang sombong selalu menolak kebenaran dan menganggap remeh orang
lain. Tawadu kepada Allah sebagaimana dikatakan oleh Ruwayim, berarti
menghinakan diri terhadap Allah Yang Maha Mengetahui atas segala hal yang
abstrak (gaib). Sahal mengemukakan, tawadu adalah sesorang bersikap rida
terhadap Allah, mnerima kebenaran dari Yang Maha benar dan hanya karena-Nya.
3.
Taqwa
Takwa berasal dari kata wiqayah, berarti tetpelihara
dari kejahatan, karena ada keinginannya yang kuat untuk meninggalkan kejahatan.
Al-Ghazali mengatakan, takwa merupakan ketundukan dan ketaatan (manusia) kepada
perintah Allah dan menjauhi segala yang dilarang-Nya. Ibnu Athaillah membagi
taqwa menjadi dua macam: Takwa lahir dan takwa batin. Takwa lahir dilakukan
melalui pemeliharaan terhadap hukum-hukum Allah yang telah ditetapkan-Nya,
sedangkan takwa batin dilakukan dengan menanamkan niat suci dan keikhlasan
murni dalam beramal.
4.
Ikhlas
Secara umum ikhlas berarti hilangnya rasa
pamrih atas segala sesuatu yang diperbuat. Menurut kaum sufi, seperti
dikemukakan Abu Zakaria Al-Anshari, orang yang ikhlas adalah orang yang tidak
mengharapkan apa-apa lagi. Dzun Al- Nun
Al-Misri mengatakan ada tiga cirri orang yang ikhlas, yaitu seimbang sikap
dalam menerima pujian dan celaan orang, lupa melihat perbuatan dirinya, dan
lupa menuntun balasan di akherat kelak. Sejalan dengan pendapat Dzun Al-Nun,
Abu Abbas bin Atha menatakan bahwa ikhlas adalah perbuatan-perbuatan yang
bersih dari maksud-maksud tertentu yang diinginkan oleh pelaku dari perbuatan
tersebut.
5.
Syukur
Menurut Abu Ali Daqaq, syukur adalah
pengakuan terhadap nikmat yang telah diberikan Allah kepadanya dengan
kedudukannya. Selanjutnya ia membagi syukur beberapa bentuk: syukur dengan
lisan berupa pengakuan terhadap nikmat Allah, syukur dengan tubuh berupa
penggunaan nikmat itu dalam menaati Allah, dan syukur dengan hati berupa
pengakuan serta membesarkan pemberi nikmat (Allah). Dalam hal ini Al-Ghazali
mengatakan bahwa syukur merupakan sikap mental tertinggi dari segala sikap
mental, karena syukur bukan alat tetapi tujuan. Jadi, syukur merupakan muara
dari segala sikap mental yang dimiliki kaum sufi.
Dalam pandangan tasawuf, nikmat hakiki adalah
kebahagiaan di akhirat yang abadi, sedangkan nikmat dunia itu hanya sementara
belaka. Hal ini sesuai firman Allah dalam surat Ibrahim ayat 7
Artinya
: "Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya
jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu
mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (Q.S.
Ibrahim : 7)